JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah momentum sepanjang 2018 bakal dimanfaatkan untuk gerakan revitalisasi situ, danau, embung, dan telaga di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, dengan Kota Depok sebagai prioritas pertama. Ini merupakan bentuk mitigasi terhadap sejumlah ancaman, seperti krisis air bersih, penurunan muka tanah, dan banjir.
Sejumlah momentum itu adalah peringatan Hari Air Sedunia, 22 Maret 2018. Selain itu, Hari Bumi Sedunia pada 22 April dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni.
Menurut Koordinator Kemitraan Kota Hijau Nirwono Joga, Selasa (20/3), secara resmi gerakan itu dimulai pada Januari 2018. Targetnya, pembenahan situ-situ di Jabodetabek selama lima tahun ke depan.
”Ini juga merupakan aksi nyata terhadap pemanasan global dan perubahan iklim dengan mencoba mengembangkan ruang terbuka biru sekaligus ruang terbuka hijau,” katanya. Ruang terbuka biru merupakan kawasan cekungan alami, seperti situ, embung, danau, dan telaga sebagai penampung air hujan.
Sebanyak 26 situ di wilayah Kota Depok bakal menjadi target program, di antaranya Situ Krukut, Situ Ciming, dan Situ Cilangkap.
Yang hendak dilakukan dalam gerakan revitalisasi situ adalah pendataan primer dan sekunder dan melibatkan sejumlah instansi, di antaranya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.
Selain itu, pengukuran dan pematokan ulang batas wilayah badan air situ berdasarkan kesepakatan bersama sejumlah instansi tadi dan pemerintah kabupaten/kota yang dilanjutkan sertifikasi situ. Jika memungkinkan, dilakukan perluasan badan air oleh BWSCC, pembebasan lahan oleh pemerintah kabupaten/kota, relokasi warga, dan penyediaan rumah susun sederhana sewa.
Menanggapi hal itu, Ketua Forum Komunitas Hijau Depok Heri Syaefudin mengatakan, kontribusi para mitra diharapkan dalam bentuk tanggung jawab sosial secara individu dalam kelestarian situ. Ini termasuk keberanian mengungkap situ-situ yang hilang.
Heri menambahkan, sebagai sumber kehidupan, sudah seharusnya pembangunan berorientasi pada air. Terkait hal tersebut, situ merupakan faktor penting dalam pengelolaan air yang berujung pada keberlanjutan kawasan, termasuk mengurangi potensi banjir.
Korban pembangunan
Hilangnya kawasan tangkapan air yang vital, seperti situ di Jabodetabek, di antaranya disebabkan pembangunan kota yang menitikberatkan pada fisik, yang tak memasukkan keberlanjutan ekosistem sebagai bagian penting. Pembangunan kota, terutama puluhan tahun lalu, tidak melihat situ sebagai bagian dari estetika kota.
Menurut peneliti bidang ekologi manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Ali Yansyah Abdurrahim, setelah masa pasca-kemerdekaan, keberadaan situ yang berada dalam kawasan APL (areal penggunaan lain) luput dipetakan. Ini tidak seperti kawasan lain, misalnya hutan lindung dan hutan produksi.
Akibatnya, sebagian pihak bisa saja memiliki bukti kepemilikan atas situ dalam bentuk girik atau letter C sebagai bukti kepemilikan dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan.
Saat itu, fungsi situ sebagai daerah konservasi air juga belum dipahami. Cara melihat seperti itu cenderung kian langgeng seiring modernisasi pembangunan di masa Orde Baru. (INK)