JAKARTA, KOMPAS — Para pedagang unggas eks Pasar Bebek Marunda, Jakarta Utara, mengeluhkan penurunan pendapatan setelah pindah berjualan di Rumah Potong Hewan Unggas di Rorotan. Namun, Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta meminta para pedagang berinovasi mengatasi kesulitan tersebut karena mereka memang wajib pindah mengingat lokasi sebelumnya ilegal.
Keluhan salah satunya disampaikan pedagang entok dan ayam, Mulyadi (33). “Pendapatan menurun, pembeli semakin sepi,” tutur dia di rumah potong tersebut, Jumat (23/3).
Saat masih berdagang di Pasar Bebek Marunda, Mulyadi bisa menjual 20-30 ekor unggas dalam sehari, tetapi di Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Rorotan ia hanya mampu menjual 2-3 ekor unggas saja. Meski demikian, ia memakluminya mengingat para pedagang baru berjualan di tempat itu sekitar dua bulan.
Ia sebelumnya menggelar lapak di Pasar Bebek Marunda selama 11 tahun. “Mungkin kalau sudah beberapa tahun bakal ramai seperti di sana nanti,” ujar Mulyadi.
Mulyadi adalah satu dari 47 pedagang unggas di Pasar Bebek Marunda, Jalan Marunda Makmur, yang direlokasi ke RPHU Rorotan di Jalan Rorotan V RT 01 RW 13 Kelurahan Rorotan, sejak akhir Januari lalu. RPHU ini memiliki luas 4.582 meter persegi dan dilengkapi dengan toilet, kantin, penampungan air, pos jaga, pembangkit daya listrik (genset), serta bakal ada instalasi pengolahan air limbah. Selain itu, fasilitas tersebut memiliki lima unit pemotongan unggas manual dan satu unit pemotongan semi otomatis. RPHU selesai dibangun pada Desember lalu.
Seorang pedagang ayam, Yeni (42), pun mengeluhkan penurunan drastis pendapatan sejak pindah ke RPHU Rorotan. Dari yang tadinya minimal memeroleh penghasilan bersih Rp 500.000 per hari, ia kini hanya mendapatkan sekitar Rp 100.000 per hari. Menurut dia, penghasilan sebesar itu tidak cukup karena ia bekerja sejak tengah malam hingga pukul 08.00. “Saya juga menghidupi istri dan satu anak,” katanya.
Yeni menjual ayam dengan harga bervariasi bergantung ukuran dan kualitas, pada kisaran Rp 50.000-Rp 110.000 per ekor. Ayam didatangkan dari Karawang, Indramayu, dan Cianjur. Salah satu pelanggannya adalah kru kapal Korea Selatan yang biasa bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, yang membeli ayam untuk kebutuhan konsumsi selama melaut.
Selain penurunan penjualan, Yeni juga mesti menghadapi risiko kematian ayam. Bulan lalu, misalnya, ia kehilangan Rp 3 juta karena sejumlah ayam mati.
Namun, para pedagang itu memang wajib pindah. Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP) DKI, Sri Hartati, menyebutkan, Pasar Bebek Marunda berdiri di atas lahan milik PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) atau KBN sehingga tergolong ilegal. Tidak ada zonasi di pasar dan lokasinya di pinggir jalan, sehingga meningkatkan paparan kuman penyakit pada orang yang melintas. “Selain itu, di bawahnya terdapat jalur pipa gas,” kata dia.
Relokasi juga berlandaskan Peraturan Daerah DKI Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas. Perda yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso ini dilatarbelakangi kejadian luar biasa penularan virus flu burung. Pasal 7 mengamanatkan pemilik tempat penampungan dan pemotongan unggas pangan yang telah ada sebelum berlakunya Perda itu wajib memindahkan tempat ke lokasi yang ditetapkan.
Hartati menambahkan, sejumlah titik penampungan dan pemotongan ayam lainnya juga disasar. Namun, relokasi tidak bisa sekaligus karena butuh penyiapan pengusahanya dan lahan untuk relokasi. Untuk relokasi pedagang dari Pasar Bebek Marunda, misalnya, sosialisasi memakan waktu setahun. Saat ini, pihaknya sedang fokus membangun rumah potong di Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur, untuk relokasi pengusaha penampungan dan pemotongan ayam dari Matraman, Jakarta Timur.
Terkait keluhan penurunan penghasilan, Hartati menuturkan, DKPKP tidak memiliki anggaran untuk membantu para pedagang meningkatkan omset. Ia berharap para pedagang memiliki jiwa wirausaha sehingga mampu berinovasi untuk sukses di tempat baru.
Ketangguhan para pedagang unggas dibutuhkan mengingat mereka bakal menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berbisnis di rumah potong yang sanitasi dan higienenya terjaga bakal membuat produk mereka mampu bersaing dengan produk negara-negara tetangga.
Untuk bertahan dari penurunan penghasilan, Mulyadi dalam dua minggu terakhir beralih menjadi penyedia ayam bagi pedagang-pedagang ayam eceran. Ayam yang didatangkannya dari daerah Banten lebih cepat habis terjual, tetapi dengan margin keuntungan per ayam yang lebih tipis daripada penjualan ayam secara eceran.