Perusahaan Aplikasi Tidak Bersedia Beri Tahu Jumlah Mitranya di Bogor
Oleh
Ratih Prahesti Sudarsono
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 21 Tahun 2017 tentang pengaturan operasi motor atau mobil sewa dalam jaringan (online) tidak terlalu efektif. Penyebabnya, perusahaan aplikasi tidak bersedia memberi tahu jumlah mitra dan kantor perwakilan di Bogor.
”Dua surat kami yang meminta data jumlah ojek atau taksi online-nya di Bogor tidak pernah dijawab. Barangkali mereka takut kalau dibatasi karena penghasilannya dari banyaknya motor dan mobil gabung di-online-nya,” kata RA Mulyadi, Kepala Seksi Angkutan Bukan dalam Trayek Dishub Kota Bogor, akhir pekan lalu.
Perwali tersebut, yang dibuat berpayung hukum perda tentang ketertiban umum, antara lain mengamanatkan adanya pembatasan jumlah dan wilayah layanan ojek/taksi daring dan membentuk tim pengawasan operasi ojek/taksi daring.
”Tim enggak jalan tuh. Soalnya, kami tidak tahu pasti berapa jumlah ojek atau taksi online itu, siapa perwakilannya,” kata Mulyadi.
Pihaknya pernah mendata koordinator ojek/taksi daring, tetapi data itu jadi tidak berguna. Ini antara lain karena terjadi perubahan wilayah mangkal dan kemitraan dengan aplikatornya, serta muncul kelompok-kelompok baru yang juga mobile.
Namun, sedikit banyak, kata Kepala Bagian Angkutan Dishub Kota Bogor Jimmy Hutapea, adanya perwali itu, pengemudi ojek/taksi daring tidak lagi seenaknya bergerombol atau parkir di areal atau fasilitas publik, seperti shelter bus, trotoar, dan ruang terbuka hijau.
”Lihat saja, di tempat-tempat yang dulu mereka mangkal, sudah tidak ada yang mangkal lagi. Itu artinya mereka tahu adanya perwali tersebut. Polisi juga saya lihat juga melakukan penilangan kepada mereka ketika mereka melanggar,” kata Hutapea.
Mulyadi mengatakan, angkutan daring ini di Bogor juga booming karena tergiur iklan atau iming-iming mudah dapat penghasilan dengan kerja semaunya karena sebagai mitra. Anak SMA yang baru lulus, yang sudah kerja, mendaftar menjadi sopir ojek/taksi daring.
”Banyak banget. Yang lama, yang sudah kami bina, pindah wilayah mangkal dan tidak jadi lagi koordinator. Yang baru bermunculan, buat kelompok-kelompok baru lagi. Susah benerngawasi-nya,” katanya.
Ojek daring, walaupun ada ”identitasnya” berupa jaket pengemudi motor, dishub tetap tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada aturan yang mengatakan motor adalah angkutan umum/massal. Apa lagi taksi daring, identitasnya tidak jelas sama sekali, kata Mulyadi.
Jimmy Hutapea mengatakan, masalah angkutan daring, kita harus bertahap mendudukkan permasalahannya kepada undang-undang. Kalau undang-undang mengatakan motor bukan angkutan umum, patuhilah itu. Begitu juga undang-undang yang mengatur mobil menjadi angkutan umum ada persyaratannya. Ikuti persyaratannya itu.
Dalam trasportasi umum, lanjutnya, pilihannya memang mengutamakan keselamatan atau bisnis. Jangan mengejar pertumbuhan bisnis, mengesampingkan keselamatan.
”Kalau urusannya penyerapan tenaga kerja, jangan dibebankan pada transportasi publik. Memang harus ada sektor lain yang mengurusi masalah itu (pembukaan lapangan pekerjaan),” katanya.
Misalnya saja program Kota Bogor mengatur ulang trayek angkot, ini tidak untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Namun, untuk melakukan perluasan jaringan layanan angkot yang lebih luas. Jumlah angkotnya tidak bertambah bahkan berkurang karena ada keharusan konversi 2-3 angkot jadi satu bus.
Melihat fakta angkutan daring sebuah keniscayaan, dibutuhkan masyarakat saat ini dan selama ini terjadi pembiaran pada operasinya, lanjut Jimmy Hutapea, mau tidak mau memang harus dicari titik keseimbangannya, dan itu berarti mereka harus mau diatur. Jangan diambangkan/dibiarkan juga seperti dulu
Misalnya, untuk ojek daring, yang sebetulnya tidak ada bedanya dengan ojek pangkalan yang selama ini dibiarkan, diperbolehkan saja beroperasi tetapi hanya di wilayah pingiran atau tertentu yang belum Ada layanan angkot.
Untuk taksi daring wajib dikir. Namun, karena keberatan mereka adalah salah satu teknis kir yang mengharuskan diketuk pada rangka mesin, yang katanya akan menurunkan harga jualnya nanti, pakai saja teknik diembos.
”Tinggal aturannya saja yang disesuaikan. Sebab kan, salah tidaknya itu karena ada undang-undangnya. Dan, memang harus ada titik keseimbangannya, apalagi ada pengusaha angkutan yang lebih lama beroperasi sesuai UU yang ada kalau daringkan baru muncul. Sehingga dari sisi keselamatan dapat, sisi bisnis kedongkrak juga,” kata Hutapea.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.