Bisnis Ekonomi Berbagi yang Tak Adil
Dia mengemukakan, selama forum berlangsung, Kemnaker menanyakan sejumlah pertanyaan terkait model bisnis perusahaan aplikasi. Jawabannya, perusahaan aplikasi transportasi dan pengemudinya terlibat hubungan kemitraan dan model bisnis ekonomi berbagi.
”Perusahaan aplikasi transportasi dengan pengemudinya tidak memiliki hubungan kerja seperti arahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagai gantinya, perusahaan aplikasi menyebut hubungannya dengan pengemudi sebagai hubungan kemitraan,” ujar Haiyani.
UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Ayat 16 menyebut hubungan industrial sebagai, sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri dari pengusaha, pekerja dan pemerintah.
UU No 13/2003 Pasal 1 Ayat 15 menyebutkan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Hubungan kerja terdiri dari pekerjaan, upah, dan perintah.
Sesuai Pasal 51, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Persyaratan perjanjian kerja mengacu Pasal 52 Ayat (1) dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, pekerjaan yang diperjanjikan, serta pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan hukum.
”Sifat hubungan perusahaan aplikasi dengan pengemudinya adalah kemitraan. Dengan demikian, upah pengemudi bukan berdasarkan pada upah minimum regional,” kata Haiyani.
Dia menegaskan, pemerintah melindungi setiap warga negara yang bekerja. Pemerintah selalu mengembalikan implementasi bentuk perlindungan sesuai arahan UU No 13/2003. Sejauh ini, Kemnaker belum menerima pengaduan dari mitra aplikator.
Tak terjamin
Kemnaker mungkin memang belum pernah menerima aduan dari mitra aplikator. Namun, berbagai unjuk rasa dari pengojek ataupun pengemudi daring agar hak mereka dilindungi pemerintah, termasuk soal penetapan tarif, menunjukkan para mitra aplikator tersebut tidak terjamin kesejahteraannya. Namun, aduan mereka pun ternyata bukan berarti didengar, apalagi dipenuhi oleh pemerintah atau perusahaan aplikasi.
Koordinator Aliansi Nasional Driver Online (Aliando), April Baja, misalnya, kini masih memperjuangkan aspirasinya. Pada Minggu (1/4/2018), Aliando sempat menggelar konferensi pers di kawasan Tugu Proklamasi Menteng, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan itu, Aliando meminta pemerintah menunda implementasi keputusan untuk memberlakukan uji kir berkala dan kepemilikan SIM A umum bagi pengemudi taksi daring. Syarat itu terlalu berat karena butuh biaya banyak yang tidak sepadan dengan pendapatan mereka. Terlebih beban biaya itu ada di pengemudi bukan di perusahaan.
Kemarin, Senin, perwakilan Gerakan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda) telah bermediasi dengan perwakilan Grab Indonesia. Pegiat Garda, Badai Asmara, mengatakan, belum ada keputusan tarif dari perusahaan penyedia aplikasi. ”Masih alot. Mediasi akan ditunda sampai Rabu,” kata Badai.
Pekan lalu, Garda bertemu dengan perwakilan Go-Jek Indonesia. Perwakilan Go-Jek menyetujui kenaikan bagi hasil asalkan kompetitornya, Grab Indonesia, juga bersedia menaikkan besaran bagi hasil. Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata tidak menjawab saat dihubungi mengenai hal tersebut.
Sebelumnya, pada Selasa (27/3), ribuan pengojek berunjuk rasa menuntut campur tangan pemerintah dalam penentuan besaran bagi hasil dari perusahaan aplikasi. Besaran yang saat ini berlaku dari Go-Jek adalah sekitar Rp 1.600 per kilometer. Angka ini dinilai tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi para pengojek daring. Badai menuntut besaran bagi hasil sebesar Rp 3.500. (MED/DD01/DD17)