JAKARTA, KOMPAS — Kerentanan DKI Jakarta terkait pasokan air bersih belum menjadi perhatian. Sumber air yang melimpah, seperti 13 aliran sungai, waduk, dan situ, masih tercemar dan butuh penanganan khusus.
”Dalam draf RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) DKI Jakarta yang dibahas kemarin tidak ada langkah konkret ke arah sana lima tahun ke depan,” kata Koordinator Kemitraan Kota Hijau Nirwono Joga di Jakarta, Selasa (4/4/2018). Pencemaran air di Jakarta termasuk dari intrusi air laut.
Dalam dokumen draf rancangan awal RPJMD 2018-2022 seperti tercantum di laman bappeda.jakarta.go.id, pembahasan berkisar pada pencemaran status mutu air. Selain itu, periode pemantauan status mutu air.
Menurut Nirwono, yang perlu dilakukan adalah menyamakan data terkait luasan situ dari berbagai instansi, termasuk yang hendak direvitalisasi. Data itu dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sebelumnya, hidrogeolog pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Rachmat F Lubis, menyebutkan ada 168,50 hektar waduk dan situ di Jakarta yang perlu direvitalisasi. Itu dari keberadaan waduk dan situ seluas 379,5 hektar dan total potensi luasan di DKI seluas 814,75 hektar.
Luasan itu terkait dengan 55 waduk dan situ serta 13 aliran sungai di wilayah DKI sebagai penghasil atau pasokan air.
Adapun tingkat ketahanan air, dalam kondisi ideal, diperkirakan baru tercapai tahun 2030 dengan 82,34 persen dari sumber daya alam/air dan 10 persen air perpipaan. Tahun 2017, ketahanan air Jakarta pada angka 27,78 persen kemampuan SDA dan 72,78 persen sumber air perpipaan.
Pada 2030, neraca air DKI Jakarta diperkirakan surplus 632.436 meter kubik. Jumlah itu dari potensi ketersediaan sumber air 2.340.916 meter kubik dikurangi kebutuhan air bersih 1.280.770 meter kubik.
Beberapa sumber pasokan, seperti air permukaan statis, air permukaan dinamis, air hujan andalan, air tanah dangkal, air tanah dalam, dan air hasil pengolahan air bekas, adalah total ketersediaan pada tahun itu. Itu termasuk pemanfaatan sejumlah aliran sungai dan keberadaan waduk atau situ.
Karena itu, kata Rachmat, Jakarta semestinya tak perlu terancam kehabisan pasokan air seperti di Cape Town, Afrika Selatan. Dengan potensi pemanfaatan sumber air permukaan yang relatif besar, diiringi intervensi teknologi pada kondisi-kondisi tercemar, kota Jakarta akan aman. Teknologi bisa menjadi kunci keberlanjutan jika diadopsi dengan tepat. (INK)