JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta mempertanyakan efektivitas program tersebut dalam Rapat Paparan Eksekutif Mengenai Program dan Isu Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2017-2022 di Bidang Perekonomian di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Selama tiga bulan masa uji coba OK OTrip, program itu dinilai belum dirasakan oleh masyarakat. Jumlah trayeknya sangat terbatas, yaitu hanya lima trayek, serta angkutan yang melayani hanya 71 angkutan kota (angkot). Selain itu, sosialisasi program juga masih minim.
”Masih ada keluhan para operator yang merasa rugi ikut program ini karena sepi. Mereka, kan, perspektifnya bisnis, jadi harus dipikirkan jalan tengahnya,” kata salah satu anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Mualif.
Padahal, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta yang dikucurkan untuk pelaksanaan OK Otrip ini cukup besar, yaitu Rp 3,3 triliun. Anggaran ini untuk mengintegrasikan angkot dengan target 2.687 unit untuk tahun ini atau jauh lebih besar dari yang sudah terealisasi dalam uji coba sebanyak 71 unit. Angkot ditargetkan terintegrasi dengan sistem angkutan massal berbasis bus, yaitu jaringan transjakarta, dan angkutan reguler lainnya.
Program OK OTrip ditargetkan selesai secara bertahap tahun 2020. Dari sekitar 12.500 angkutan kota yang ada di Jakarta saat ini, hanya 8.887 unit yang akan digunakan. Jumlah trayek akan dikurangi dari 156 menjadi 93 rute.
Selama tiga bulan masa uji coba, sejumlah masalah masih terjadi. Baru dua operator bersedia bergabung, yaitu Koperasi Wahana Kalpika (KWK) dan Koperasi Budi Luhur. Masalah utama adalah harga perkiraan sendiri (HPS) rupiah per kilometer (km) yang masih belum disepakati antara PT Transjakarta dan operator.
PT Transjakarta mematok HPS Rp 3.459 per km didasarkan perhitungan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta yang mewakili sebagian besar operator meminta minimal Rp 3.800 per km. Sistem pembayaran pun belum jelas benar.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andriyansyah mengatakan, pembahasan HPS dilakukan untuk mencari jalan tengah, yaitu tetap mengakomodasi operator, tetapi tanpa terlalu membebani anggaran.
Hingga saat ini, baru satu bank, yaitu BNI, yang bersedia ikut serta dalam OK OTrip. Akibat beragam kendala itu, masa uji coba menurut rencana akan diperpanjang. Awalnya, masa uji coba berlangsung 15 Januari dan berakhir pada 15 April.
”Jadi, diperpanjang atau tidak, atau langsung implementasi, akan dikaji lagi pekan depan,” kata Andriyansyah.
Revisi pergub
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memimpin langsung pertemuan untuk menyelesaikan masalah OK OTrip pada Rabu sore. Rapat dihadiri sekitar 40 operator dan perwakilan Organda DKI Jakarta.
Andriyansyah mengatakan, pertemuan itu untuk menghimpun aspirasi guna revisi Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Perseroan Terbatas Transjakarta.
Revisi dilakukan karena aturan itu baru mengakomodasi bus besar untuk integrasi dengan PT Transjakarta, tetapi belum mengakomodasi bus-bus kecil (angkot) dan bus sedang (sekelas metromini).
Dalam pertemuan itu akan dibentuk tim kerja untuk merancang revisi pergub tersebut. Pertemuan dilanjutkan dengan rapat dalam 10 hari ke depan.
Menurut Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Masdes Arouffy, Dinas Perhubungan DKI sudah dua kali bersurat kepada PT Transjakarta guna mengakomodasi berbagai keluhan sopir dan operator. ”Soal HPS dan kuota unit yang bisa bergabung itu,” katanya.
Dewan Pimpinan Unit Organda Angkutan Lingkungan DKI Petrus Tukimin mengatakan, para operator akan tetap sulit bergabung dengan OK OTrip jika keluhan operator dan sopir tak diakomodasi pemerintah. Selain masih rendahnya HPS, juga ada keluhan keterlambatan pembayaran.
Pihaknya berharap, adanya pertemuan-pertemuan itu bisa memberi solusi. Sebab, operator dan sopir sebenarnya juga mendukung program itu.(IRE)