JAKARTA, KOMPAS - Tidak adanya payung hukum yang mengatur hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi angkutan dan mitra pengemudi membuat pemerintah sulit mengatur langsung kesejahteraan pengemudi.
Dalam diskusi ”Ojek Daring: Nasib Pengemudi di Tengah Kemelut Regulasi”, Selasa (10/4/2018), dipaparkan, ada 39 persen pengemudi ojek dalam jaringan (daring) yang bekerja satu minggu penuh untuk mendapatkan penghasilan layak. Pendapatan pengojek daring itu tidak diterima utuh karena dipotong biaya pulsa, parkir, pemeliharaan kendaraan, dan bahan bakar.
Temuan itu merupakan hasil penelitian dari Perkumpulan Prakarsa, lembaga independen yang bergerak dalam bidang riset, pengembangan kapasitas, dan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan dan kesejahteraan. Mereka membuat survei deskripsi di Jakarta dan Surabaya dengan 522 responden. Survei dilakukan kepada konsumen dan pengemudi ojek daring.
Survei kepada konsumen dibuat untuk melihat persepsi warga tentang ojek daring. Sementara itu, survei kepada pengemudi ojek untuk melihat keterkaitan antara ojek daring dan isu ketenagakerjaan.
Peneliti kebijakan sosial Perkumpulan Prakarsa, Eka Afrina Djamhari, mengatakan, upaya perbaikan kesejahteraan pengojek daring masih belum sesuai standar kerja layak. Meskipun pengojek daring memiliki waktu kerja fleksibel, waktu kerja mereka cenderung melebihi batas kerja. Salah satunya karena mereka mengejar bonus dari perusahaan mitra (aplikator).
Direktur Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Wahyu Widodo dalam diskusi yang sama mengatakan, hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi menyulitkan pemerintah untuk terlibat mengatur. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengakomodasi hubungan kemitraan.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan hanya bisa merekomendasikan perusahaan aplikasi angkutan untuk memfasilitasi mitra pengemudi mengakses program jaminan sosial. Semua mitra menanggung biaya iuran sendiri.
Menurut dia, Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan rekomendasi agar status aplikator menjadi perusahaan transportasi. Perubahan status ini diharapkan memudahkan pemerintah menentukan payung hukum yang pas serta terlibat mendorong kesejahteraan mitra pengemudi.
Konsekuensi perubahan status utamanya adalah hubungan kemitraan berganti menjadi hubungan kerja. Dengan demikian, perusahaan bisa terlibat mendukung pengemudi dalam urusan jaminan sosial.
Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata dalam surat elektronik menjelaskan, Grab adalah perusahaan aplikasi yang terdaftar secara resmi di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Untuk pengoperasian layanan transportasi, Grab tunduk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Transportasi dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Dia membenarkan bahwa sifat hubungan Grab dengan pengemudinya adalah kemitraan. Meski bersifat kemitraan, perusahaannya berkomitmen membantu pengemudi memperoleh pendapatan yang lebih baik, seperti memberikan subsidi dan investasi teknologi untuk meningkatkan pencocokan permintaan dengan suplai layanan. (DEA/MED)