Tanpa Payung Hukum, Pemerintah Sulit Atur Angkutan Daring
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tidak adanya payung hukum yang mengatur hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi angkutan dan mitra pengemudi, membuat pemerintah mengatur langsung kesejahteraan pengemudi.
Direktur Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Wahyu Widodo, dalam diskusi Ojek Daring : Nasib Pengemudi di Tengah Kemelut Regulasi, Selasa (10/4/2018), mengatakan, hubungan kemitraan yang terjadi antara perusahaan aplikasi angkutan dan pengemudi menyulitkan pemerintah untuk terlibat mengatur. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengakomodasi hubungan kemitraan.
"Tidak adanya payung hukum mengatur hubungan kemitraan. Tidak terpenuhinya unsur hubungan kerja atau hubungan industrial," ujar dia.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan hanya bisa merekomendasikan perusahaan aplikasi angkutan untuk memfasilitasi mitra pengemudi mengakses program jaminan sosial. Seluruh mitra harus menanggung pembayaran iuran sendiri.
"Mitra pengemudi dikategorikan sebagai peserta jaminan sosial bukan penerima upah. Status ini sama seperti pekerja informal," tutur Wahyu.
Menurut dia, Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan rekomendasi agar status aplikator menjadi perusahaan transportasi. Perubahan status ini diharapkan memudahkan pemerintah menentukan payung hukum yang pas serta terlibat mendorong kesejahteraan mitra pengemudi.
Konsekuensi perubahan status utamanya adalah hubungan kemitraan berganti menjadi hubungan kerja. Dengan demikian, perusahaan bisa terlibat mendukung pengemudi dalam urusan jaminan sosial.
Wahyu mengklaim, pihaknya telah diundang rapat koordinasi sebanyak delapan kali lintas kementerian dan lembaga untuk membahas keberadaan angkutan umum berbasis aplikasi. Kementerian Ketenagakerjaan lebih banyak menekankan pada aspek finansial dan kesejahteraan pengemudi.
Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata, dalam surat elektronik terpisah, menjelaskan, Grab adalah perusahaan aplikasi yang terdaftar secara resmi di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Untuk operasional layanan transportasi, Grab tunduk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Transportasi dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Dia membenarkan bahwa sifat hubungan Grab dengan pengemudinya adalah kemitraan. Meski bersifat kemitraan, perusahaannya berkomitmen membantu pengemudi memperoleh pendapatan yang lebih baik, seperti memberikan subsidi dan investasi teknologi untuk meningkatkan pencocokan permintaan dengan suplai layanan.
"Mereka (mitra pengemudi) telah membantu membangun Grab menjadi merek platform angkutan umum berbasis aplikasi yang terpercaya. Oleh sebab itu, kami fokus menjadikan mereka sebagai wirausahawan agar taraf hidup mereka naik," ujar Ridzki.
Dia mengatakan, Grab mempunyai Program Kesinambungan Mitra Pengemudi. Program ini memiliki sejumlah inisiatif untuk mengurangi biaya operasional dan membantu kesejahteraan mitra pengemudi.
Sebagai contoh, potongan harga khusus untuk pemeliharaan kendaraan. Contoh lain yaitu Grab menyelenggarakan GrabSchool, pelatihan inovasi bagi anak-anak mitra pengemudi.
Sebagai penyedia aplikasi pemesanan kendaraan, lanjut dia, Grab menawarkan fleksibilitas jam kerja kepada para mitra. Mereka dapat mengatur sendiri durasi waktu bekerja dan tidak ada keharusan memenuhi jumlah pesanan setiap harinya.
"Namun, demi menjaga kualitas pelayanan, kami melakukan evaluasi berkala kepada mitra pengemudi. Misalnya, evaluasi dari aspek perolehan rating layanan yang diberikan penumpang. Kami akan memberikan pelatihan sesuai hasil penilaian itu," imbuh Ridzki.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengemukakan, Mahkamah Uni Eropa sudah menetapkan layanan sejenis Uber sebagai perusahaan jasa transportasi. Regulator di Indonesia bisa menggunakan referensi itu.
"Barangkali, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Polri bisa menerbitkan Surat Keputusan Bersama untuk pengaturan usaha itu," saran dia.