Lotto Jaya, Nalo, dan Hwa Hwe itulah ”judi” massal, merakyat, bahkan menasional pada paruh kedua 1960-an. Kupon undian Lotttery Totalisator atau Lotto semula hanya diterbitkan di Jakarta, tetapi kemudian meluas beredar di Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Medan, Makassar, Banjarmasin, dan Bangka. Begitu meluasnya sampai Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 12 Juni 1968 memberikan izin penjualan Lotto di halte-halte bus. Begitu juga kupon National Lottery atau Nalo dijual masif di kampung-kampung di kota-kota di negeri ini.
Fenomena sosial ini mengundang pro kontra. Politisi di parlemen yang kala itu disebut Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) menyatakan bahwa Lotto, Nalo, dan Hwa Hwe dapat membahayakan masyarakat. ”Meskipun ada manfaatnya dari segi materiil,” begitu ditulis harian Kompas edisi 5 Juni 1968.
Gubernur DKI Jakarta menanggapi sorotan itu. Dikatakan Ali Sadikin, Hwa Hwe, Lotto Jaya, dan Nalo bukan masalah yang berdiri sendiri. Pokok persoalannya, menurut Gubernur, adalah Pemerintah Daerah DKI Jakarta tidak mempunyai dana cukup untuk membiayai pembangunan. Anggaran yang ada hanya cukup untuk gaji pegawai.
Dalam pandangan Ali Sadikin, tidaklah adil jika DPR mempersoalkan cara-cara pemerintah daerah dalam hal mencari dana secara inkonvensional tersebut, tetapi melupakan persoalan perimbangan keuangan. Terlebih lagi mengingat kenaikan harga yang melangit pada awal masa Orde Baru tersebut. Dijanjikan Ali Sadikin, cara-cara mendatangkan uang secara inkonvensional tersebut hanya ”alat” sementara sebelum sumber-sumber dana lain tersedia.
Di kalangan rakyat, Hwa Hwe, Lotto, dan Nalo menjadi semacam ”hiburan” massal. Penarikan undian Nalo, misalnya, yang berlangsung setiap Sabtu pada setiap minggunya, menjadi hari-hari yang ditunggu. Mereka dengan sukacita menunggu harapan pada akhir pekan. Sebelum akhir pekan tiba, orang mengisi hari-hari dengan asyik mengotak-atik angka tebakan dengan berbagai cara, termasuk menganalisis ramalan para tukang ramal. (XAR)