Dalam sebuah laporan statistik kepolisian yang dimuat harian Kompas, Rabu, 30 Juni 1965, halaman 3 disebutkan, korban tewas dalam kecelakaan lalu lintas di Jakarta tahun 1960 sebanyak 83 orang dan tahun 1964 menjadi 384. Peningkatannya hampir 500 persen. Setiap bulan di Jakarta berkisar 10-20 orang tewas di jalanan, sedangkan korban tewas karena kriminalitas lain berkisar 2-3 orang. Hal ini diungkapkan Ajun Komisaris i Tan Hik Djie, Kepala Subseksi Kecelakaan Lalu Lintas, Angkatan Kepolisian, Komando Daerah Jakarta Raya, dalam jumpa pers.
Terjadinya kecelakaan lalu lintas lebih banyak di jalan-jalan lurus, seperti Jalan Jenderal Sudirman, Kramat Raya, Hayam Wuruk, Gajah Mada, MH Thamrin, dan Gunung Sahari. Pada kondisi jalan lurus, pengemudi cenderung memacu kendaraannya lebih cepat.
Kebiasaan menyeberang jalan tidak pada tempatnya juga menjadi ancaman hilangnya nyawa. Banyak orang yang tidak mematuhi aturan lalu lintas, seperti menyeberang tidak di tempat penyeberangan (zebra cross).
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, pertengahan Juni 1967, menyediakan alat bantu menyeberang berbentuk lingkaran warna merah bergaris tengah 20 cm, di pinggirnya warna putih dan panjang gagang 30 cm berwarna hitam. Alat ini dipakai untuk menyetop kendaraan bermotor saat pejalan kaki akan menyeberang jalan. Untuk sementara disediakan 10 alat di tempat-tempat penyeberangan, misalnya di Jalan MH Thamrin depan BNI, Setiabudi, dan lain-lain (Kompas, Rabu, 21/6/1967).
Pembangunan jembatan penyeberangan di lokasi yang ramai, seperti di Jalan MH Thamrin, ternyata bisa mengurangi jumlah angka kecelakaan, selain memperlancar arus lalu lintas. Untuk mencegah orang nyelonong menyeberang, Pemerintah DKI memasang pagar sepanjang jalur hijau. Penambahan zebra cross tetap diperlukan untuk memudahkan mereka yang tidak menggunakan jembatan penyeberang. Sejak dini perlu ditanamkan budaya tertib di jalan raya meski tidak ada petugas. (JPE)