BANDUNG, KOMPAS Peracik dan pengedar minuman keras oplosan di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Syamsudin Simbolon (50), yang tertangkap di Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (18/4/2018), bukan pemain baru. Anak Syamsudin, Roy San Guntur Simbolon (26), pernah dipidana karena pembuatan dan peredaran minuman keras oplosan pada 2015.
Roy saat itu hanya dipidana dengan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagai pelaku usaha pangan tak berizin. Roy hanya divonis delapan bulan penjara.
Hingga Selasa (17/4), korban minuman keras oplosan yang tewas di Jawa Barat 61 orang. Polisi telah menetapkan Syamsudin dan Roy sebagai tersangka. Dari rumah Syamsudin di Cicalengka, polisi menemukan bungker tempat meracik minuman keras oplosan.
Selama 10 tahun terakhir, jumlah korban tewas pada 2018 merupakan yang tertinggi. Sampai 17 April tercatat 99 orang tewas karena minuman keras oplosan. Sebelumnya, jumlah korban tewas tertinggi terjadi pada 2014, yakni 79 orang.
Kembali beroperasi
Ketua RW tempat Syamsudin tinggal, Ahmad Subhana, membenarkan bahwa Roy pernah ditahan polisi tahun 2015 terkait kasus minuman keras oplosan. ”Setelah bebas, dia menjual miras oplosan lagi di dekat rel (Stasiun Cicalengka),” ujarnya.
Subhana mengatakan, keberadaan kios tempat Syamsudin berjualan minuman keras oplosan, yang berlokasi 150 meter dari rumah Syamsudin, sudah lama dikeluhkan warga. Pasalnya, banyak anak muda membeli minuman keras oplosan dari warung itu. Pada 2016, Subhana berinisiatif melaporkan aktivitas di warung itu kepada polisi. Warung itu pun pernah dirazia. ”Namun, setelah dirazia dan ditutup, warung itu kembali beroperasi setahun kemudian hingga sekarang (saat ditutup kembali oleh polisi),” ujarnya.
Sementara di Jakarta dan sekitarnya, dari 10 tersangka masih ada 2 tersangka peracik miras oplosan yang buron, UR alias Uda (44) dan Ali Marhatis alias Bewok. UR diduga memproduksi miras oplosan di rumah kontrakannya, di Jalan Bumi Raya, Duren Sawit. Sementara Bewok memproduksi miras oplosan di Jati Asih, Kota Bekasi.
JM (24), bekas pembantu peracik miras oplosan di Jakarta Timur, mengatakan, UR sudah menjadi agen peracik miras oplosan di Jakarta Timur sejak 2015. JM mengaku bekerja sebagai pembantu peracik selama kurang dari setahun pada 2015. Dalam sehari JM bisa enam kali meracik dan menghasilkan 120 liter miras oplosan. Setiap liternya dijual Rp 25.000.
Bahan yang digunakan meracik, menurut JM, terdiri dari biang alkohol, alkohol biasa, minuman ringan, dan bubuk minuman energi.
Berdasarkan pemeriksaan polisi, korban tewas diduga teracuni metanol, alkohol untuk industri yang digunakan sebagai campuran miras oplosan. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan Suratmono menyampaikan, metanol pada dasarnya dibutuhkan untuk kepentingan industri, seperti mencairkan pelitur dan spiritus ”Alkohol metanol itu berbahaya dikonsumsi. Minuman yang dicampur metanol bisa meracuni tubuh,” katanya.
Kompas mencoba membeli alkohol metanol di toko kimia di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Ternyata mudah memperolehnya. Setiap 1,5 liter metanol dijual Rp 15.000. Tak perlu syarat apa pun untuk membelinya.
Dijaga
Menurut JM, gudang dan tempat pembuatan miras oplosan dijaga sejumlah orang yang diduga aparat. ”Di sekitar kawasan Taman Mini juga ada gudang bahan miras oplosan yang dijaga ketat aparat,” katanya.
AK (45), salah seorang konsumen miras oplosan di Jakarta Timur, juga mengaku penjualan miras oplosan bisa berjalan aman karena dijaga beberapa aparat. ”Ada saja polisi datang, minta mel (pungutan liar) ke pedagang ginseng (sebutan salah satu jenis miras oplosan),” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) M Iqbal menyampaikan, masyarakat agar ikut melaporkan jika ada aparat penegak hukum yang melindungi bisnis miras oplosan.
Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, adanya beberapa peracik dan pengedar miras oplosan yang sudah teridentifikasi dan ditangkap, tetapi kembali melakukan hal serupa karena regulasinya belum jelas. ”Tak ada regulasi (penindakan terhadap peracik dan pengedar miras oplosan), mau efek jera apa yang bisa dimunculkan,” ujarnya.
Selain itu, menurut Simon, penegak hukum dan pemerintah tak pernah memiliki data statistik tentang orang yang mabuk akibat mengonsumsi miras yang diproduksi secara legal dan miras oplosan. ”Akhirnya, jadi pengulangan saja setiap tahun karena tak ada evidence base (basis data yang sesungguhnya terjadi) terkait konsumsi miras dan miras oplosan itu,” katanya.