JAKARTA, KOMPAS — Warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, memprotes undangan dari Bupati Kepulauan Seribu Irmansyah untuk membahas permasalahan tanah pulau tersebut. Sebab, agenda acara dinilai tidak jelas dan belum menunjukkan itikad baik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memenuhi permintaan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya berdasarkan laporan akhir hasil pemeriksaan dugaan maladministrasi penerbitan sertifikat tanah di Pulau Pari.
Dalam surat undangan bertanggal 14 Mei 2018, Irmansyah mengundang para pihak untuk datang ke Gedung Mitra Praja di Jakarta Utara dalam acara “Penjelasan tentang Legalitas Hak atas Tanah Sertifikat HGB (hak guna bangunan) dan SHM (sertifikat hak milik) di Pulau Pari”, besok Kamis (24/5/2018). Ia mengundang ketua RW 04 (Pulau Pari hanya terdiri dari satu RW) dan ketua RT 01-04 sebagai perwakilan warga.
Menurut Nelson Nikodemus Simamora, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang ikut mendampingi warga Pari, Bupati melampaui kewenangan jika melihat rumusan kata-kata agenda di pertemuan itu, mengingat Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya sudah menyimpulkan terdapat penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SHM serta penyalahgunaan wewenang dan pengabaian kewajiban hukum dalam penerbitan SHGB. SHM dan SHGB dimiliki PT Bumi Pari Asri atau individu-individu yang terkait dengan perusahaan itu.
“Sudah ada Kantor Pertanahan kok Bupati urusi tanah. Bupati itu tidak punya kewenangan soal pertanahan,” ucap Nelson dalam jumpa media di Jakarta, Selasa (22/5/2018). Dengan agenda acara seperti tercantum di surat, Bupati diduga ingin membahas soal legal-tidaknya SHM dan SHGB yang sudah diterbitkan, padahal Ombudsman sudah menyimpulkan penerbitannya cacat hukum.
Keluarnya laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya berawal dari laporan Forum Peduli Pulau Pari pada awal 2017 tentang dugaan maladministrasi dari Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara dalam menerbitkan SHM dan SHGB di Pari. Kantah Jakarta Utara menerbitkan 14 SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa—keduanya anak perusahaan Bumi Raya Utama Group. Selain itu, ada 62 SHM yang nama-nama pemiliknya terkait perusahaan. Ke-76 sertifikat tersebut membuat kedua perusahaan menguasai 90 persen lahan Pari.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata menambahkan, jika Bupati ingin mengundang para pihak guna menyelesaikan sengketa tanah di Pulau Pari, Bupati semestinya secara tegas menuliskan agenda sesuai LAHP Ombudsman.
LAHP berisi permintaan tindakan korektif kepada Pemerintah Provinsi DKI, antara lain agar Pemprov mengembalikan peruntukan Pulau Pari sebagai kawasan permukiman penduduk/nelayan sesuai rencana tata ruang wilayah 2030, menginventarisasi data warga Pari serta status lahan di sana, dan menginventarisasi seluruh pulau di Kepulauan Seribu beserta aset-aset di atasnya. “Hal-hal utama itu tidak ada di agenda tersebut. Sangat aneh jika mereka mengundang tetapi tidak jelas agendanya untuk apa,” ujar Marthin.
Ketua RT 01 RW 04 Kelurahan Pulau Pari Edi Mulyono menuturkan, undangan Bupati tersebut juga janggal karena surat menyebutkan, acara diadakan sehubungan permasalahan tanah yang diklaim Petisi Masyarakat Pulau Pari Kepulauan Seribu. “Selama ini, perjuangan warga sampai detik ini belum pernah membuat petisi ke kabupaten,” ucapnya.
Kejanggalan lainnya, surat tidak ditembuskan ke Gubernur Anies Baswedan. Dengan pertimbangan itu, kata Edi, tidak ada perwakilan warga yang memenuhi undangan Bupati. Bahkan, warga menyurati Bupati, Gubernur, serta Ombudsman terkait surat undangan itu.
Hingga pukul 21.00 kemarin, Bupati Irmansyah belum merespon telepon dan Whatsapp dari Kompas terkait masalah ini.