DIAN DEWI PURNAMASARI/Kurnia Yunita Rahayu/SONYA HELEN SINOMBOR
·5 menit baca
DEPOK, KOMPAS -— Guru Bahasa Inggris kelas VI SDN Tugu 10, Cimanggis, Depok, mengakui telah melakukan kekerasan seksual kepada sejumlah siswa laki-laki. Saat diinterogasi pihak sekolah, Wa (24)–pada berita Kompas, Kamis (7/6/2018) ditulis AW (23)–mengaku pernah menjadi korban perundungan dan kejahatan seksual saat kecil.
Yusup, wali kelas VI SDN Tugu 10, mengatakan, Wa mulai bekerja sebagai guru Bahasa Inggris sejak 27 Juli 2015. Hampir tiga tahun dia menjadi pengajar di sekolah tersebut. Namun, saat masih menyusun skripsi, Wa sudah mulai magang sebagai guru di sekolah tersebut. Wa dinilai sebagai pribadi yang sopan, aktif bersosialisasi, dan kerap berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Di masyarakat, Wa juga dikenal sebagai guru mengaji dan kerap ikut mengurus keperluan jenazah. Rumah Wa hanya sekitar 500 meter dari SDN Tugu 10.
”Melihat keaktifan dia di masyarakat, sopan santun, dan keramahan membuat kami mempekerjaan dia sebagai guru honorer,” ujar Yusup, Kamis.
Setelah orangtua korban melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan Wa, pihak sekolah memanggil dan mengonfirmasi langsung kepadanya. Wa dipanggil kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Depok pada Senin (28/5/2018). Ia mengakui kejahatan yang sudah ia lakukan dan menangis. Keluarga pelaku pun mengaku sebelumnya sudah membawa Wa berkonsultasi dengan psikolog di Bandung, Jawa Barat. Keluarganya membeberkan kepada pihak sekolah bahwa Wa mengaku ia pernah menjadi korban perundungan dan kekerasan seksual semasa kecil.
”Dia mengaku bahwa dulu juga menjadi korban,” kata Yusup.
Sekolah ramah anak
Kejadian ini membuat seluruh elemen sekolah terpukul. Apalagi, sejak awal 2018, SDN Tugu 10 ditetapkan sebagai sekolah ramah anak. Artinya, sekolah tersebut melawan segala bentuk penganiayaan, pelecehan, perundungan, pemerasan, dan tindakan kekerasan lainnya.
Kepala SDN Tugu 10 Ade Siti Rohimah mengatakan, ia mengaku kecolongan. Selama ini, anak-anak tidak pernah menceritakan kejadian sebenarnya kepada guru ataupun wali kelas. Ia juga tidak mencurigai gerak-gerik aneh dari Wa.
”Kami akui kecolongan. Kami tidak pernah tahu dan tidak pernah ada anak yang menceritakan kepada kami,” kata Ade.
Jika dilihat dari lokasi kelas VI A dan VI B, lokasinya berada di sudut di lantai dua dekat gudang alat musik. Lokasi itu tidak berada di jalur lalu lintas guru. Ruangan guru dan kepala sekolah ada di lantai I. Terutama saat jam pulang sekolah, suasana sekolah itu juga sepi karena berada di dalam kompleks perumahan.
”Kadang, saat jam pulang sekolah, saya dipanggil lagi untuk naik ke atas (ruangan kelas). Di situ saya disuruh onani. Sepi, saya enggak bisa teriak,” kata MF (12), salah seorang korban.
Awalnya, keempat orangtua korban menganggap anak-anaknya hanya diminta membuka celana dan onani. Namun, penyidik Polresta Depok mengungkapkan, seorang anak mengaku bahwa selama kurun waktu 2017-2018, dia sudah disodomi selama tujuh kali. Perbuatan bejat itu dilakukan Wa di ruangan kelas saat sepi, juga saat ia mengajak anak-anak didiknya berenang.
Pihak sekolah pun menyangkal jika kekerasan seksual dilakukan pada saat jam belajar. Meskipun lokasi kelasnya di sudut, Yusup mengaku sering memantau kegiatan belajar-mengajar siswa. Ia menduga perbuatan Wa itu dilakukan di luar sekolah ataupun di luar jam pelajaran.
Kini, empat siswa yang menjadi korban menjalani pemeriksaan intensif dari pihak kepolisian. Mereka menjalani pemeriksaan visum et repertum di Rumah Sakit Bhayangkara R Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Meski rata-rata korban sudah lulus dari SD tersebut dan segera mendaftar ke sekolah menengah, pihak sekolah tetap akan melakukan terapi penyembuhan trauma dan konsultasi psikologi. Menurut rencana, program itu akan dilaksanakan setelah korban selesai melakukan pemeriksaan di kepolisian.
Orangtua salah satu korban, LY (35), memercayai masih ada korban lain. Sebagian orangtua korban lain itu sudah berkomunikasi dengannya. Namun, korban bungkam karena takut atau malu. LY pun berusaha membujuk korban-korban lain agar mau melaporkan kejahatan itu ke pihak kepolisian.
Tambahan hukuman
Kini polisi telah menangkap Wa dan menetapkan statusnya sebagai tersangka. Kepala Kepolisian Resor Kota Depok Komisaris Besar Didik Sugiarto di Depok, kemarin, mengatakan, Wa disangka melanggar Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melajukam tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Dalam Pasal 82 Ayat (1) UU yang sama dijelaskan bahwa pelanggar Pasal 76E diancam pidana penjara selama paling sedikit lima tahun, paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Kemudian dalam Pasal 82 Ayat (2), hukuman-hukuman tersebut akan ditambah sepertiga dari ancaman seharusnya jika pelaku pidana adalah orangtua, wali, pengasuh anak, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Wa ditangkap di Kota Depok pada Kamis sekitar pukul 12.00. Ia tidak melawan dan langsung dibawa ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal Polresta Depok untuk diperiksa.
”Dalam pemeriksaan awal, Wa mengakui ia telah melakukan kejahatan seksual kepada murid-muridnya,” ujar Didik.
Polisi masih menggali ihwal latar belakang, motif, dan lokasi kejahatan seksual dari Wa. Diduga, kejahatan seksual tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di luar sekolah.
Dalam beberapa hari ke depan, polisi juga akan memeriksa kesehatan Wa. Sebab, pelaku kejahatan seksual dikhawatirkan mengidap virus HIV/AIDS. Selain itu, pemeriksaan psikologis juga akan dilakukan untuk menganalisis kondisi kejiwaan Wa.
Berdasarkan laporan dari empat korban, perilaku tidak senonoh terhadap siswa sudah Wa lakukan tahun 2017-2018. Oleh karena itu, Didik menduga, jumlah korban lebih dari jumlah pelapor. Namun, hingga semalam, jumlah pelapor belum bertambah.
Menurut Didik, keempat korban juga mengalami trauma. Untuk memulihkan trauma dan mendampingi para korban, polisi bekerja sama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto meminta proses hukum seberat-beratnya kepada pelaku.