Cerita ABK Pelayaran Rakyat yang Terpaksa Tak Ikut Mudik
Oleh
Khaerudin
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di saat sebagian besar warga Jakarta sibuk mudik, pulang ke kampung halamannya masing-masing menjelang Lebaran, ada sebagian orang yang tak bisa berlebaran bersama keluarganya, karena pekerjaan mereka mengharuskan seperti itu. Mereka yang terpaksa tak bisa mudik di antaranya adalah anak buah kapal pelayaran rakyat di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.
Anak buah kapal (ABK) pelayaran rakyat (pelra) tetap bertahan di atas kapal mereka. Selain karena alasan biaya, mereka juga ditugaskan untuk menjaga kapal saat para nakhoda dan rekannya mudik.
Aco (58), anak buah KLM Mega Buana, terpaksa tidak mudik ke Sumbawa karena harus menjaga kapal bersama seorang rekannya. Setiap hari mereka harus memompa air di lambung kapal yang bocor agar kapal tidak tenggelam. Mereka juga mesti membasahi dek secara berkala agar tidak panas.
"Kalau panas, ini bisa pecah. Kapal ini tidak sama dengan kapal besi. Setiap hari harus disiram lima sampai enam kali," kata Aco, Senin (11/6/2018).
Selain karena harus menjaga kapal, Aco tidak mudik karena tidak punya biaya. Untuk mudik ke Sumbawa bersama istri dan anaknya, setidaknya ia butuh Rp 3 juta untuk membayar transportasi pulang.
"Bahkan saat Lebaran saya tetap di sini (di kapal), enggak bisa pulang ke rumah di Muara Baru. Rencana besok istri saya yang datang kemari untuk menengok. Kapal ini tidak bisa ditinggal. Kalau ada barang-barang yang hilang, kita tanggung jawab," ujarnya.
Aco hanya bisa keluar secara bergantian dengan rekannya bila ada keperluan untuk membeli bahan makanan ke pasar untuk dimasak.
Hal yang sama juga dialami oleh Samba (48), anak buah kapal KLM Nurahma Jaya. Ia tidak bisa pulang karena terhambat biaya pulang ke kampungnya di Palembang. Karena tidak pulang, Samba mendapat tanggung jawab menjaga kapal setiap hari bersama empat orang rekannya. Nakhoda kapalnya sudah duluan pulang kampung sejak minggu lalu.
Samba sudah lebih setahun tidak bertemu anak dan istrinya di Palembang. Ia hanya bisa mengirim nafkah sekali beberapa bulan tanpa bisa bertemu langsung dengan keluarga. "Sebenarnya rindu, tapi mau bagaimana lagi. Ini pekerjaan kita. Kita hidup dari sini," katanya.
Menjelang Lebaran, aktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa, terutama di dermaga tempat kapal pinisi pelra merapat, sepi dari aktivitas. Sedikitnya 20 kapal tertambat di dermaga. Hanya satu dua kapal saja yang masih memuat barang, seperti semen, untuk diangkut ke luar Jawa.
Daerah perkantoran perusahaan kapal tersebut juga sudah tutup. Menurut para ABK yang menjaga kapal, sebagian besar pegawai yang bekerja di sana sudah pulang ke kampung halaman. (YOLA SASTRA)