Para pendatang baru selalu menjadi persoalan kota-kota besar setelah Lebaran. Pemerintah setempat berupaya mengantisipasinya dengan pendataan setiap kelurahan.
DEPOK, KOMPAS Untuk mengantisipasi pertambahan penduduk setelah Lebaran, Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, akan mendata dan mengendalikan jumlah penduduk baru. Pendataan penduduk baru tersebut akan dilakukan di tingkat kelurahan.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Depok Misbahul Munir mengatakan, Senin (18/6/2018), sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10 Tahun 2016 tentang Kependudukan, lurah diberi amanat untuk mendata dan mengendalikan jumlah penduduk. Pengendalian penduduk dilakukan dengan memberikan surat keterangan tempat tinggal (SKTT) nonpermanen.
”Kewenangan itu ada pada lurah. Untuk itu, lurah diminta selalu memantau pergerakan penduduk melalui rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW),” ujarnya.
Pada 2017, jumlah pendatang baru yang masuk ke Kota Depok hanya 1 persen. Jumlah penduduk nonpermanen yang datang ke Depok pada Juni 2017 sebesar 2.000 jiwa atau 1 persen dari total penduduk Depok 2 juta jiwa lebih.
Munir memprediksi jumlah penduduk yang akan masuk ke Kota Depok setelah Lebaran pada tahun ini kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya. Hal itu lantaran kota Depok bukan tempat tujuan utama para pendatang baru.
”Nanti yang bertugas mendata penduduk resmi nonpermanen itu lurah, baru dilaporkan kepada kami. Kalau Disdukcapil hanya punya data warga yang resmi pindah domisili ke Depok,” kata Munir.
Terkait dengan program antisipasi pendatang baru, tambah Munir, dari tahun ke tahun masih sebatas melaksanakan operasi bina kependudukan. Pendatang baru yang masuk 1 x 24 jam ke wilayah Depok harus melaporkan identitas resminya kepada ketua RT/RW setempat. Pada H+7 Lebaran, lurah dan camat juga akan mengadakan operasi bina kependudukan untuk pendataan penduduk baru.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok 2016, wilayah terpadat di Depok adalah Kecamatan Sukmajaya dengan 245.142 jiwa penduduk. Kecamatan Sukmajaya juga merupakan kecamatan terpadat di Kota Depok dengan tingkat kepadatan 15.063 jiwa/km persegi. Diikuti dengan Kecamatan Pancoran Mas dengan tingkat kepadatan 13.522 jiwa/km2. Adapun, kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Sawangan, yaitu 5.580 jiwa/km2.
Kampung pemulung
Puluhan ribu orang merantau ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) demi hidup yang lebih sejahtera. Namun, tidak semuanya berhasil mencapai tujuan dan impiannya.
Suridi (66), pemulung asal Brebes, Jawa Tengah, tidak bisa lagi mengingat tahun berapa dia merantau ke Jakarta. Dia mengaku, tujuannya merantau ke Jakarta karena ingin mendapat penghasilan lebih besar.
”Di kampung enggak ada kerjaan, mendingan di sini, walaupun jadi pemulung tetap bisa nyekolahin tujuh anak sampai lulus SMA semua,” ujarnya.
Suridi tinggal di RT 011/RW 009 Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Di tempat itu, ada 125 keluarga tinggal dalam sejumlah bedeng reyot seluas lebih kurang 9 meter persegi. Kini, wilayah tempat tinggal mereka itu dikenal sebagai Kampung Pemulung Pondok Labu.
Mayoritas keluarga yang tinggal di Kampung Pemulung berprofesi sebagai pemulung. Namun, sisanya ada juga yang berprofesi sebagai petugas kebersihan kompleks, petugas prasarana dan sarana umum, asisten rumah tangga, buruh serabutan, dan pengamen.
Meskipun profesi mereka beragam, mereka sama-sama orang perantauan yang datang ke wilayah Jabodetabek untuk mengadu nasib. Sebagian besar datang dari daerah Jawa Tengah, seperti Brebes, Pemalang, Majenang, Boyolali, dan Semarang.
Boimah (34), pemulung asal Brebes, mengatakan, pertama kali datang ke Jakarta ikut saudara. Dia dijanjikan mendapatkan pekerjaan. Namun, kenyataannya sulit mencari pekerjaan.
Menurut Boimah, motivasi sebagian besar para perempuan yang datang ke Jakarta adalah ingin mendapatkan penghasilan yang layak. Saat di kampung halaman, mayoritas dari mereka bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tidak tetap. Untuk sekali pekerjaan borongan, penghasilannya berkisar Rp 40.000- Rp 60.000.
Rosita (45), yang bekerja sebagai pemulung dan pembantu rumah tangga, mengatakan, kalau buruh tani di kampung tidak pasti. Terkadang ada pekerjaan, terkadang sama sekali tidak ada.
”Padahal, kita selalu butuh uang untuk hidup,” kata warga asal Bumiayu, Jawa Tengah, yang berpenghasilan Rp 800.000-Rp 1,5 juta per bulan.
Sebagian besar dari pendatang itu tidak membawa ijazah dan tidak memiliki keahlian khusus. Tuminah (48), salah satunya. Ia mengaku tidak membawa ijazah karena lulusan SD dan ijazahnya hilang.
”Mana ada perusahaan yang mau menerima. Akhirnya, ya, bekerja sebagai pembantu rumah tangga,” kata perempuan asal Purbalingga, Jawa Tengah, tersebut.
(DEA/E06/E18)