JAKARTA, KOMPAS Otomatisasi industri menjadi tantangan bagi para pencari kerja kelas berpendidikan rendah. Dengan keterampilan dan pengetahuan yang rendah, ke depan mereka akan semakin kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor industri yang terus mengembangkan otomatisasi produksi.
Hal itu akan semakin menambah tingkat pengangguran di perkotaan. Sektor pekerjaan informal pun akan semakin meningkat.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, kepada Kompas, Selasa (19/6/2018), mengatakan, masalah urbanisasi pendatang ke kota-kota besar, terutama Jakarta, pasti akan menimbulkan masalah. Salah satunya adalah pengangguran.
Lapangan kerja di Jakarta mayoritas bersifat padat modal. Artinya, perusahaan-perusahaan di Jakarta lebih banyak mengandalkan faktor-faktor produksi, seperti penggunaan mesin dibandingkan dengan manusia.
”Jadi, Jakarta tidak mungkin dapat menyerap semua tenaga kerja pendatang. Apalagi dengan munculnya Industri 4.0 yang mengandalkan teknologi akan semakin membatasi peran manusia,” tambahnya.
Menurut Enny, kebanyakan pendatang baru belum memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Paling tinggi SMA sehingga akan sangat sulit mencari pekerjaan dengan kualifikasi itu.
”Pendatang dari luar daerah yang tidak memiliki kualifikasi kerja yang baik dapat meningkatkan angka pengangguran. Pada akhirnya juga akan berdampak pada angka kemiskinan di DKI Jakarta,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Jakarta pada September 2017 sebanyak 393.130 orang. Jumlah itu meningkat 7.290 orang atau 3,75 persen dibandingkan September 2017 yang sebanyak 385.840 orang.
Proyek infrastruktur
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, mengatakan faktor pendatang baru datang ke kota-kota besar adalah menginginkan perubahan nasib yang lebih baik. Sebagian datang ke Jakarta karena mereka tidak menemukan solusinya di daerah.
Mereka banyak bekerja di sektor informal, dengan ikut teman, komunitas, ataupun keluarga. Hal itu karena tingkat pendidikan mereka rendah.
”Pembangunan infrastruktur dan transportasi daring, yang marak beberapa tahun terakhir ini, turut berkontribusi terhadap peningkatan arus urbanisasi,” katanya.
Untuk mengatasi urbanisasi, Yayat berharap agar pemerintah membuat daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru. Selain itu, setiap pemerintah juga perlu mengembangkan ekonomi dan meningkatkan serapan tenaga kerja.
Ade Prasetya (24), pengemudi ojek daring asal Banyumas, Jawa Tengah, mengaku tertarik menjadi pengemudi ojek daring karena penghasilan di daerah kurang menjanjikan. Ketika pergi ke Jakarta pun, dia susah menemukan pekerjaan yang layak bagi tamatan SMK.
”Saat ini penghasilan saya rata-rata Rp 3,5 juta sebulan. Kalau di daerah penghasilannya maksimal hanya sekitar Rp 1 juta per bulan,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan jumlah pendatang baru ke Jakarta pada tahun ini meningkat sekitar 2 persen dibandingkan 2017. Jumlah pendatang baru pada 2017 sebanyak 70.752 orang.
Pertanian ditinggalkan
Sementara Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, laju urbanisasi petani dari desa ke kota sulit dihindari. Hal itu terjadi karena kesejahteraan petani belum menjanjikan.
Selain itu, para petani banyak yang tersingkirkan dari pertanian akibat peralihan lahan ke nonpertanian juga cukup masif.
”Kenyataannya profesi petani sudah tidak lagi menarik di pedesaan. Mereka cenderung tertarik dengan perkembangan industri dan jasa yang ada di perkotaan,” ujarnya.
Dwi menambahkan, pekerja di sektor pertanian saat ini didominasi petani tua di atas 35 tahun. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, petani muda yang berumur di bawah 35 tahun hanya sebanyak 13 persen.
(E01/E21/E04/E08)