Pendatang Dianggap Beban
Setelah Lebaran, arus urbanisasi relatif menderas. Litbang Kompas melakukan jajak pendapat untuk mengetahui persepsi warga perkotaan. Sebagian menganggap, pendatang cenderung membebani kota.
Perpindahan masyarakat dari desa ke kota atau urbanisasi masih akan terjadi setelah Lebaran. Tren urbanisasi terlebih ke kota-kota besar akan terus terjadi selama ada faktor pendorong dari daerah asal dan faktor penarik dari kota tujuan. Angka pertumbuhan urbanisasi yang relatif tinggi masih belum menguntungkan kota karena di perkotaan Indonesia relatif belum diiringi tata kelola dan infrastruktur yang memadai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di kota. Jumlah ini diproyeksikan naik menjadi 67 persen pada 2035. Jajak pendapat Kompas yang dilakukan tanggal 2-3 Juni lalu juga menunjukkan masih adanya niat responden mengajak saudara/kerabatnya untuk ikut beranjak dari desa ke kota di mana responden tinggal setelah masa mudik Lebaran usai. Setidaknya, masih ada 20 persen responden yang berniat melakukannya setelah Lebaran tahun ini.
Kota-kota besar di Indonesia yang selama ini menjadi tujuan urbanisasi, antara lain Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, setelah Lebaran 2017, pendatang baru yang masuk ke Ibu Kota sebanyak 70.752 orang. Angka ini naik hingga 2,89 persen dibandingkan 2016, dengan jumlah 68.763 orang. Kondisi serupa terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat, di mana jumlah penduduknya meningkat 10 persen seusai libur Lebaran 2017.
Jajak pendapat menunjukkan asal migran biasanya tidak jauh dari kota tujuan migrasi. Contohnya, banyak orang Madura yang pindah ke Surabaya, atau dari Blitar dan Gresik. Hal serupa dilakukan oleh penduduk Lampung, Pekanbaru, dan Aceh yang memilih pindah ke Medan. Meski demikian, masih ada juga pendatang dari kota-kota di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang merantau di Pulau Jawa seperti kota-kota di kawasan Jabodetabek, Surabaya, ataupun Yogyakarta.
Daya tarik kota-kota besar di Jawa masih kuat. Terbukti, penduduk di Pulau Jawa lebih padat dibanding pulau lainnya. Jumlahnya sekitar 149 juta jiwa. Mereka berdiam di wilayah seluas 128.297 kilometer persegi, atau 6 persen dari total luas Indonesia.
Pertumbuhan pusat-pusat ekonomi di Pulau Jawa masih menjadi magnet. Berdasarkan data BPS, akumulasi nilai pendapatan domestik regional bruto (PDRB) tahun 2016 semua provinsi di Pulau Jawa menguasai 58,49 persen dari PDRB Nasional. Oleh sebab itu, banyak yang tergiur untuk pindah ke pusat-pusat ekonomi di Jawa.
Sayangnya, angka pertumbuhan urbanisasi yang relatif tinggi masih belum diiringi kemampuan tata kelola dan infrastruktur yang memadai di perkotaan Indonesia. Ketidaksiapan perkotaan di Indonesia menjadikan urbanisasi masih menjadi beban daripada membawa keuntungan ekonomi.
Urbanisasi yang semrawut dan tidak terencana hanya membuat perkotaan menjadi kumuh. Bahkan, tidak layak huni dan aktivitas warganya cenderung tidak produktif. Indeks kota layak menjadi indikator obyektif untuk menilai kualitas kota dari sisi ekonomi, sosial, hingga lingkungan. Berdasarkan nilai Indeks Kota Layak Huni tahun 2009-2017, Surabaya dan Jakarta menunjukkan peningkatan, tetapi Medan cukup fluktuatif.
Beban bagi kota
Rumput di kota nyatanya tidak sehijau yang dibayangkan. Harapan mereka yang datang dari desa untuk mencari pekerjaan di kota kian sulit. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan lebih dari separuh warga di 16 kota besar terlebih yang berdomisili di Jakarta, Surabaya, dan Medan berpendapat bahwa mencari mata pencarian semakin sulit dilakukan.
Namun, responden yang setelah Lebaran berniat mengajak saudara/kerabat mereka ke kota, cenderung menilai peluang kerja yang bisa didapatkan di kota tempat tinggalnya masih banyak sehingga keberadaan kerabat/saudara yang mereka ajak ke kota dinilai tidak akan membebani kota.
Berbeda dengan mereka yang memilih tidak akan mengajak saudara/kerabat ke kota. Pasalnya mereka menilai mendapatkan pekerjaan di kota tempat tinggalnya saat ini, cenderung kian sulit. Kelompok responden ini menilai, keberadaan saudara/kerabat yang hendak ikut ke kota hanya akan merugikan bahkan membebani kota tempat tinggalnya.
Sulitnya mencari pekerjaan di kota besar akhirnya mengarahkan para migran untuk mengambil peluang kerja di sektor informal. Publik pun menilai lapangan pekerjaan yang tersedia di kota besar kebanyakan berada di sektor nonformal seperti menjadi asisten rumah tangga atau pengasuh bayi. Bagi mereka yang memiliki sedikit modal, akan memilih berdagang atau wirausaha. Sektor formal yang tersedia pun terbatas di pekerjaan kerah biru, seperti buruh pabrik dan kasir toko, yang tidak membutuhkan kualifikasi tinggi.
Para migran yang memiliki tingkat pendidikan tinggi pun harus menghadapi persaingan yang makin sengit. Terkadang mereka harus rela untuk bekerja kasar dan mengubur impiannya untuk berkarier. Mereka yang tidak rela memilih menunggu panggilan kerja dari sektor yang diinginkan. Hal ini turut mendongkrak angka pengangguran di sejumlah kota besar yang tiap tahun naik.
Selain persoalan di bidang ketenagakerjaan, dampak buruk urbanisasi, seperti krisis perumahan, air bersih, lingkungan hidup, transportasi, hingga kejahatan sesungguhnya dapat diatasi apabila pemerintah kota memiliki kemampuan mengelola kota dengan baik. Pengelolaan transfer dana daerah untuk belanja produksi berjalan yang dialokasikan dengan tepat bisa menjadi sebagian modal untuk menciptakan solusi.
Namun, persoalan besar ini harus diselesaikan dari akarnya. Pemerataan pembangunan desa dan kota menjadi kunci. Pembangunan infrastruktur baik di kota maupun desa tidak lagi bisa ditunda demi keseimbangan akses pembangunan di antara keduanya. Selain itu, dana desa serta dana pembangunan lainnya dari pemerintah pusat ke daerah harus tersampaikan secara lancar dan tepat sasaran. Hal ini hanya sebagian upaya untuk memperbesar daya tarik desa dan mengurangi dorongan untuk mengadu nasib ke kota.
(Susanti Agustina S/L01/L02/Litbang Kompas)