Pro dan kontra tentang kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai cagar budaya Betawi tidak kunjung usai sejak ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 18 Desember 1975. Saat itu Condet masih menjadi penghasil duku, salak, jambu, juga durian. Sebagian besar warganya adalah orang asli Betawi dengan bangunan rumah dan masjid yang khas.
Kawasan itu terdiri atas tiga kelurahan, yakni Bale Kambang, Kampung Tengah, dan Batu Ampar. Daerah seluas sekitar 700 hektar ini ditinggali sekitar 22.285 jiwa. Tahun 1976 jalannya didominasi jalan kampung dengan lumpur merah yang becek jika hujan. Jalan aspal selebar 6 meter menghubungkan Cililitan-Cijantung-Pasar Minggu.
Penetapan Condet sebagai cagar budaya membuat harga pasaran tanah di daerah ini turun. Jika sebelumnya per meter persegi sekitar Rp 10.000, pada 1976 menjadi Rp 4.000 per meter persegi. Area yang boleh dibangun juga hanya 15 persen dari luas tanah yang dimiliki warga demi menjaga area kebun tetap luas. Warga dilarang menebang pohon buah-buahan produktif, mengubah bentuk bangunan, dan tetap menjaga budaya setempat.
Hal ini memunculkan masalah karena ada rumah warga yang kondisinya nyaris roboh. Jika harus membangun sesuai aslinya, pemilik bangunan tak punya cukup uang. Sementara untuk melestarikan budaya Rebana Biang, warga pun kesulitan dana. Bantuan dari pemerintah daerah belum ada. Tahun 1980, misalnya, dari sembilan rumah yang harus dipugar, baru lima rumah yang mendapat bantuan pemerintah.
Warga umumnya menerima status Condet sebagai cagar budaya, tetapi mereka pun ingin merasakan kesejahteraan seperti penduduk Jakarta lainnya. Di sisi lain, Pemda DKI Jakarta membiarkan saja perubahan bangunan yang berlangsung di Condet. Pada 1989 ada perusahaan properti yang membangun perumahan modern di Condet seluas berkisar 2 hektar-3 hektar dan terletak di Kelurahan Batu Ampar. Tentang hal ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ir Herbowo mengatakan, Pemda akan mengkajinya.
Keputusan Pemda DKI Jakarta menjadikan Condet sebagai cagar budaya pada kenyataannya justru bertolak belakang. Kekisruhan terus berlangsung karena konsep penanganan tidak jelas.