JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan penerimaan peserta didik baru secara daring melalui jalur zonasi diapresiasi karena berupaya menghapuskan penerimaan siswa dengan dasar perolehan nilai ujian. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang justru membuat warga kehilangan kesempatan untuk belajar di sekolah terdekat.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (11/7/2018), mengatakan, penerimaan melalui jalur zonasi yang diatur dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan bentuk lain yang sederajat itu membutuhkan penegasan pada beberapa bagian. Salah satunya mengenai penentuan domisili calon siswa yang didasarkan pada alamat di kartu keluarga.
Menurut Heru, ketentuan tersebut memunculkan peluang bagi warga dari luar zonasi sekolah untuk memindahkan keanggotaan KK demi mendapatkan sekolah favorit. Hal tersebut berpotensi menghilangkan hak warga setempat.
Heru menambahkan, pemetaan zonasi sekolah juga perlu dicermati. Sebab, jumlah sekolah negeri di beberapa daerah belum merata. Ada daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya memiliki satu sekolah di daerahnya. Namun, ada pula wilayah berpenduduk jarang yang memiliki banyak sekolah.
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengatakan, salah satunya terjadi di Desa Bojongkulur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Wilayah berpenduduk terpadat di Kabupaten Bogor itu tidak memiliki SMP dan SMA sehingga warga harus mendaftar sekolah yang berada di luar zonasinya. Oleh karena itu, kesempatan mendapatkan sekolah negeri menjadi kecil.
”Sistem zonasi akan bekerja secara optimal ketika jumlah sekolah negeri sudah merata,” kata Retno. Standar seluruh sekolah negeri pun perlu disamakan agar tidak ada pemusatan pendaftaran ke salah satu sekolah.
Meski demikian, Retno mengapresiasi konsep jalur zonasi. Menurut dia, konsep tersebut berupaya menghapuskan sistem penerimaan berbasis nilai. Oleh karena itu, fungsi ujian nasional mampu kembali pada pemetaan kemampuan murid, bukan penentu untuk mendaftar ke sekolah.
Selain itu, menurut Heru, ketentuan penerimaan murid dari keluarga ekonomi lemah dalam satu wilayah juga menimbulkan potensi kecurangan. Dalam Pasal 19 Permendikbud No 14/2018 dijelaskan bahwa pemerintah wajib menerima murid berekonomi lemah dalam suatu daerah paling sedikit 20 persen dari kuota penerimaan. Pembuktian status ekonomi tersebut dilakukan menunjukkan surat keterangan tidak mampu.
Menurut Heru, mekanisme penerbitan SKTM masih lemah. Penerbitannya kerap tidak didasarkan pada kondisi ekonomi faktual warga.
Retno mengatakan, beragam kelemahan tersebut dapat menghilangkan hak anak untuk mendapatkan sekolah negeri. Oleh karena itu, sosialisasi mengenai PPDB perlu dilakukan lebih intensif dan dalam jangka waktu yang lebih panjang.