JAKARTA, KOMPAS - Sistem pengawasan konsumsi air tanah di DKI Jakarta dinilai masih lemah. Pelanggaran dan volume konsumsi sulit dideteksi. Kebijakan air tanah masih berusaha dirumuskan. Padahal, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, konsumsi air tanah berlebihan tanpa disertai konservasi merupakan salah satu masalah lingkungan terbesar di Jakarta.
”Saat ini masalah air tanah di Jakarta sudah sangat kritis,” kata Anies dalam diskusi ”Menjawab Tantangan Masalah Air Tanah Jakarta” yang diselenggarakan Amrta Institute, IHE Delft, dan UNESCO di Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Anies memaparkan, dari pendataan Juli 2016, terdata sebanyak 4.400 sumur air tanah di Jakarta. Namun, hanya 60 persen di antaranya yang volume konsumsinya terdata dan dilaporkan. Penggunaan air tanah di Jakarta dilakukan mulai dari warga, industri, hingga perkantoran.
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah aturan disahkan guna menjaga air tanah Jakarta, di antaranya penerapan pajak tinggi dan kewajiban membuat sumur resapan. Namun, karena pengawasan lemah, masih banyak pelanggaran.
Dari 80 gedung bergengsi yang diperiksa di kawasan Sudirman-Thamrin pada Maret lalu, hanya satu gedung yang memenuhi peraturan soal air tanah. Hal ini menunjukkan sistem pengawasan yang masih lemah. ”Dari ratusan ribu gedung di Jakarta, sangat sulit kami melakukan pengawasan ini,” kata Anies.
Pengambilan air tanah berlebih di Jakarta yang tak disertai upaya konservasi air merupakan salah satu faktor penurunan muka tanah. Faktor lain adalah beban bangunan dan kondisi tanah sendiri.
Sejak 1970-an, Jakarta sudah mengalami penurunan air tanah dan hingga kini belum ada kebijakan mengatasinya. Saat ini, penurunan tanah di Jakarta berkisar 7,5 cm-17 cm per tahun.
Penurunan tanah mengakibatkan ancaman banjir lebih besar. Apalagi, sekitar 40 persen daratan Jakarta sekarang berada di bawah permukaan air laut.
Peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rachmat Fajar Lubis, memamparkan, salah satu kawasan yang penurunan lahannya terpantau adalah Kampung Tongkol, Jakarta Utara. Dari pengukuran, penurunan tanah di Tongkol terparah terjadi tahun 1990-2007, yakni 30,5 cm, lalu membaik menjadi 0,8 cm pada 2015-2016.
Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie mengatakan, Jakarta belum punya kebijakan komprehensif mengatasi pengambilan air tanah berlebih guna mencegah penurunan tanah. Sementara kota lain di dunia, seperti Tokyo dan Taipei, berhasil mengatasi hanya dalam waktu 20-30 tahun.
Perubahan perilaku
Sejak Maret, Anies sudah dua kali memimpin pengawasan terhadap penggunaan air tanah di DKI Jakarta. Pengawasan pertama dilakukan di perkantoran dan hotel di sepanjang Jalan Sudirman-MH Thamrin dan tahap kedua di kawasan industri di Daan Mogot dan Pulogadung. Menurut rencana dilakukan tiga tahap pengawasan. Tahap ketiga menyasar permukiman.
Menurut Anies, kawasan-kawasan itu merupakan kawasan yang pengelolaan gedungnya paling baik di seluruh Jakarta. Namun, saat diperiksa, ternyata masih sangat tertinggal di bidang penggunaan air tanah.
Ia mengatakan, pengawasan ini tak menargetkan pemberian sanksi, tetapi pada perubahan perilaku untuk pengelolaan air tanah Jakarta jangka panjang.
Pertemuan itu menghasilkan rekomendasi adanya reformasi manajemen data air di Jakarta. Pengelolaan air perlu diikutsertakan dalam perencanaan pembangunan kota. Pengelolaan air juga perlu lebih terintegrasi antara air tanah, air permukaan, dan air limbah karena ketiganya saling berkaitan. (IRE)