Motif Belum Terungkap meski Tujuh Tersangka Diringkus Polisi
Oleh
Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Meskipun polisi sudah meringkus tujuh tersangka, motif pemerkosaan terhadap FN (16) masih misteri. FN yang juga siswi SMK di Bogor, Jawa Barat, itu depresi hingga akhirnya meninggal setelah diperkosa sejumlah orang. Setelah kasus ini terjadi Kepolisian Resor Bogor menangkap tujuh orang tersangka, yaitu MR (18), MDF (20), RS (22), N (22), A (22), ISH (15), dan ARR (14).
Polisi masih mengejar seorang tersangka lagi berinisial I (22). Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar AM Dicky mengungkapkan penangkapan itu pada Jumat (13/7/2018) di Markas Polres Bogor. ”Hingga saat ini, kami masih mencari salah satu pelaku. Selanjutnya, akan dilakukan penyelidikan terkait motif pencabulan ini. Kami akan memberikan kabar selanjutnya,” ujar Dicky.
Kasus ini berawal pada Selasa (26/6/2018) sekitar pukul 21.00. Saat itu FN dijemput ISH dan ARR di dekat rel di daerah Citeureup, Bogor. Pertemuan itu terjadi setelah mereka melakukan perjanjian melalui komunikasi di Whatsapp.
Mereka bertiga menuju sebuah rumah kosong yang tidak terawat. Rumah tersebut, dindingnya sebagian hancur, tak memiliki ubin, dan udaranya pengap dengan luas sekitar 36 meter. Tempat ini adalah rumah kosong di kawasan Kampung Nyangkokot, Desa Gunungsari, Citeureup, Bogor.
Menurut Dicky, sudah ada pelaku lainnya yang berada di dalam rumah tersebut. Hingga saat ini, Polres Bogor masih belum bisa memastikan motif pelaku melakukan tindakan tersebut. Begitu juga FN dalam keadaan sadar atau tidak.
Dalam kejadian ini terdapat sejumlah barang bukti yang disita oleh Polres Bogor. Selain itu, terdapat ponsel yang digunakan ISH dan juga sepeda motor yang digunakan untuk menjemput FN.
Para pelaku melanggar Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terkait pencabulan dan kekerasan anak di bawah umur. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara dan paling singkat 5 tahun penjara.
Tinggal kenangan
ECP, orangtua korban, menginginkan hukuman yang setimpal kepada pelakunya, supaya mereka jera. Menurut dia, kepastian polisi terkait kasus ini terlampau lama. Ia menunggu kepastian penyidik terhadap kasus ini. Hingga saat ini, keluarga korban masih menunggu kabar mengenai hasil otopsi anak sulung mereka. Mereka ingin tahu penyebab meninggalnya anak mereka ini.
”Saya memohon kepada polisi untuk memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku. Kami juga berharap atas hasil otopsi ini cepat keluar. Saya tidak tahu penyebab anak saya meninggal,” kata ECP.
Pedih, kata ECP saat mengingat anaknya meninggal dengan begitu cepat. ECP mengatakan, anaknya selama seminggu sebelum meninggal, selalu mengurung dirinya di dalam kamar. Saat diajak bicara, matanya terlihat kosong, dan jarang berbicara. FN juga tidak pernah tersenyum sama sekali.
Mirisnya, mereka baru mengetahui bahwa FN diperkosa dari cerita teman dekat anaknya itu. Setelah kejadian, FN bercerita dengan temannya tentang perlakuan tak manusiawi yang ia alami. Orangtuanya tidak sempat melakukan visum anaknya, karena tepat seminggu setelah kejadian, FN menghembuskan napas terakhirnya, Selasa (3/7/2018).
Di mata beberapa teman-temannya, FN dinilai ceria dan ramah. Ia juga tergolong anak yang murah senyum kepada orang lain. Kata mereka, FN jarang memperlihatkan kesedihannya di depan teman-teman. Saat temannya membutuhkan pertolongan, FN terlihat senang membantu.
”Dia ramah dengan semua orang. Kalau bercerita dengannya seru, dan tidak pernah kelihatan sedih. Dia juga lumayan pintar di kelas,” ujar salah satu temannya.
Butuh pendampingan
Menurut psikiater FK Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Teddy Hidayat, kasus yang dialami FN harus ditelusuri cara pendampingannya di rumah. Orangtua berhak memantau pergaulan yang dimiliki anak. Bila pergaulannya tidak baik, orangtua harus menjaganya.
FN, kata Teddy, mengalami peristiwa yang membuat mentalnya berantakan sehingga ia mengalami stres yang akut hingga menjadi depresi yang berat. FN mengalami pergulatan batin yang berat, rasa bersalah, merasa sendiri, dan merasa tidak berguna.
Oleh karena itu, orangtua harus terus membangun komunikasi yang baik dengan anaknya. Butuh keterbukaan satu sama lain sehingga terjalin hubungan yang baik. Tentu, orangtua bisa menempatkan diri sebagai teman ceritanya, bila anak memiliki masalah.
Susanto, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan, sangat menyayangkan kejadian serupa terjadi di Citeureup, Bogor. Ia mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak harus dicegah sejak dini. Susanto mengatakan, peran keluarga sangat dibutuhkan untuk mendidik anak untuk terhindar dari kasus ini.
”Kuncinya bukan hanya orangtua, tetapi sekolah, lingkungan untuk menjaga anak-anak, dan khususnya perempuan supaya tidak menjadi korban kembali. Semoga ke depannya, kasus ini tidak ada lagi,” ujar Susanto.
Data dari KPAI, dari Januari hingga Mei 2018 terdapat 59 kasus anak menjadi korban kekerasan seksual. Kasus tersebut adalah yang dilaporkan kepada KPAI. Kasus yang serupa bisa jadi terjadi di luar pengawasan KPAI.