DEPOK, KOMPAS — Budaya menjadi aspek penting untuk diperhatikan terkait ketahanan ruang bagi kebutuhan masyarakat. Hal ini terutama jika dikaitkan dalam hubungan antara wilayah desa dan perkotaan seperti di Jabodetabek.
Sebagian di antara hal tersebut mengemuka dalam sarasehan terkait penataan ruang hidup, khususnya kecenderungan hilangnya ruang-ruang publik menyusul derasnya arus modal untuk pembangunan fisik. Sarasehan bertajuk ”Nawacita Menyapa, Mendengar” itu diselenggarakan di Situ Pengasinan, Kota Depok, Jawa Barat, oleh Forum Komunitas Hijau Kota Depok bersama Yayasan Nawacita, Senin (16/7/2018), dengan diikuti aktivis dari sejumlah komunitas.
Pegiat arsitektur hijau, Heru Wicaksono, mengatakan, saat ini terjadi gerakan perubahan sangat cepat terkait keberadaan ruang. Ini termasuk ruang nyata dan maya.
”Ketika tidak ada pembatasan, (akan) berkembang liar. Ruang-ruang itu akan masuk ke kultur,” kata Heru. Ruang-ruang yang mengimbas ke dalam kultur tersebut, katanya, cenderung makin meluas seiring dengan berjalannya waktu.
Menurut Heru, hal yang bisa dijaga pada saat ini adalah budaya sebagai bangsa untuk menanggulangi dampak tersebut. Di dalamnya termasuk pemahaman utuh terkait arsitektur hijau atau arsitektur ekologis yang ramah lingkungan guna kehidupan lebih baik dan berkelanjutan.
Budayawan dan seniman musik tradisi, Henry Surya Panguji atau yang lebih dikenal dengan nama Uyung Mahagenta, mengatakan, dalam kaitan tersebut, bentuk-bentuk kesenian tradisi memiliki hubungan erat dengan kelestarian lingkungan hidup dan keberadaan ruang publik. Misalnya, keberadaan sejumlah kesenian yang membutuhkan alat-alat musik tradisional dari bahan-bahan di alam, seperti batang-batang bambu pilihan.
Namun, Uyung menyayangkan, hingga saat ini kesenian tradisi cenderung masih dianggap sebagai hiburan belaka dan belum beroleh sambutan hangat. ”Padahal, kesenian (tradisi) adalah ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Ia berharap, pemerintah bisa membuat aturan untuk memastikan terjadinya transfer pengetahuan dan kearifan dalam berbagai kesenian tradisi kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal ini, kata Uyung, misalnya berupa penetapan aturan agar semua tempat hiburan menyelenggarakan pementasan kesenian tradisional, setidaknya satu kali dalam sepekan.
Pendekatan keliru
Syahrul yang mewakili Komunitas Ciliwung Kota Depok menyoroti sejumlah pendekatan dalam penataan ruang yang cenderung salah dalam perspektif lingkungan hidup. Hal ini, misalnya, lewat program normalisasi sebagian sungai-sungai di Indonesia dengan pemasangan tiang-tiang beton di sisi dalam alurnya.
Selain itu, kata Syahrul, pembetonan juga dilakukan pada sebagian sempadan ruang terbuka hijau lewat pembangunan jalan-jalan beton. Hal itu dilakukan sebagai bagian upaya penangangan banjir. Misalnya ancaman terjangan air bah yang melanda sebagian Jakarta dan Bodetabek pada saat-saat tertentu menyusul luapan sejumlah sungai, seperti Ciliwung.
”(Untuk) Mengatasi banjir bukan dengan beton. (Mestinya dengan pendekatan) Natural flood management, (itu pendekatan) secara alami,” kata Syahrul.
Koordinator Forum Komunitas Hijau Kota Depok, Heri Syaefudin, mengatakan, ruang-ruang publik yang hilang membuat kebersamaan antarkelompok masyarakan cenderung hilang. Sebagai dampak lanjutannya, ia menyebutkan, bangsa Indonesia kehilangan tempat untuk menguji kesahihan sebagai bangsa yang toleran.
Ia mencontohkan, sebagian hal itu mewujud dengan kondisi sebagian sekolah yang seperti kehabisan ruang untuk anak-anak didik mereka. Ini terutama dengan sebagian lembaga PAUD (pendidikan anak usia dini), TK (taman kanak-kanak), dan SD (sekolah dasar) yang lokasinya kerap hanya berupa ruang ala kadarnya.
Hal ini belum lagi dengan relatif minimnya keberadaan ruang publik, seperti taman, lapangan, atau pantai, yang bisa diakses secara gratis oleh seluruh kalangan masyarakat. Padahal, ruang-ruang publik tersebut cenderung dapat menjamin interaksi di antara kelompok masyarakat.
”Di mana letak keseriusan kita membangun bangsa ketika pemerintah tidak berdaulat mengatur ruang,” kata Heri.