BOGOR, KOMPAS—Trotoar di Kota Bogor belum ramah bagi pejalan kaki, khususnya wanita hamil, penyandang disabilitas, dan lansia. Hal itu ditunjukkan dari kondisi trotoar yang berlubang dan beralih fungsi.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (16/7/2018), sejumlah trotoar di Kota Bogor masih belum layak digunakan untuk pejalan kaki. Trotoar di Jalan Kapten Muslihat, misalnya, banyak yang berlubang dan digunakan oleh pedagang untuk berjualan. Guiding line atau lantai berwarna kuning untuk penyandang disabilitas pun kondisinya hancur. Bahkan guiding line tidak terhubung dengan halte.
Berbeda dengan kondisi trotoar di Jalan Pajajaran. Trotoarnya terlihat rapi, namun tinggi trotoar dengan jalan lebih kurang 30 sentimeter. Hal itu menyulitkan lansia, wanita hamil, dan penyandang disabilitas berjalan kaki di sana.
Fahmi (46), penyandang tunanetra, bersusah payah naik trotoar tersebut saat berjalan kaki di Jalan Pajajaran menuju ke halte. Ia mengikuti guiding line sebagai petunjuknya. "Harus ngangkat kaki dan suka tersandung karena lubang dan hilang garisnya,” ujarnya.
Seorang pejalan kaki lainnya, Idris (26), mengatakan hal senada. Ia berharap, trotoar di sepanjang Jalan Kapten Muslihat diperbaiki, termasuk paving block yang hancur di sekitar Stasiun Bogor.
“Saya ingin sekali jalan kaki dengan nyaman. Kadang merindukan lari pagi di Bogor ini. Tetapi, banyak trotoar rusak dan ada pohon besar yang menghalangi,” kata Idris.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pada tahun 2019, Pemkot Bogor akan menganggarkan perbaikan trotoar di sejumlah jalan di Kota Bogor. Ia mengatakan, pedestrian akan dilindungi haknya khususnya para penyandang disabilitas. Namun, belum dapat dipastikan perbaikan trotoar mana terlebih dahulu.
“Pada tahun 2019, (trotoar) akan diperbaiki sehingga para pejalan kaki akan merasakan kenyamanan. Sejauh ini, Pemerintah Kota akan fokus membangun secara perlahan-lahan,” ucapnya setelah menghadiri Rapat Paripurna DPRD Kota Bogor, Senin sore.
Belum terhubung
Menurut Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, trotoar di sejumlah jalan di Kota Bogor belum ideal untuk pedestrian. Sirkulasi trotoar di Kota Bogor belum jelas. Artinya, trotoar satu dengan yang lain tidak terhubung dengan fasilitas umum, seperti halte, rumah makan, atau tempat menunggu angkutan umum.
Hal itu, katanya, membuat pejalan kaki disabilitas, wanita hamil, dan lansia sulit mengakses trotoar. Banyak guiding line yang tidak tertata rapi, misalnya rute berbelok-belok; terputus dengan pohon atau tiang listrik; berlubang; dan diokupasi pedagang.
Lebar trotoar pun tidak sama. Nirwono mengatakan, trotoar di depan pintu utama Kebun Raya Bogor dan trotoar di Jalan Sukasari, misalnya, memiliki lebar yang tidak sama. Menurut dia, sebaiknya trotoar memiliki ukuran yang cukup untuk kenyamanan para pejalan kaki, yakni antara 2-3 meter.
“Trotoar di Jalan-jalan Kota Bogor, kalau diperbaiki, jangan sampai tumpang tindih kegunaannya. Kalau dilihat di jalan Pajajaran, ada guiding line, lalu ada jalur untuk sepeda. Keduanya dekat sekali. Itu, bisa membuat kecelakaan pejalan kaki. Lalu, di dalam trotoar ada kabel-kabel yang ditanam. Bisa tiga bulan sekali dibongkar. Baiknya tidak tumpang tindih lagi,” ucapnya.
Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah daerah semestinya memberikan fasilitas pendukung untuk para pejalan kaki. Fasilitas pendukung itu di antaranya trotoar. Artinya, pejalan kaki harus diberikan ruang yang nyaman dan terlindungi dari gangguan lainnya.
Nirwono menambahkan, semestinya Pemkot Bogor mampu menyisihkan anggaran sedikit untuk perbaikan trotoar yang nyaman, dan rapi. “Di Indonesia banyak contohnya. Pemerintah bisa meniru di daerah Karawaci dan tidak usah jauh-jauh melihat Singapura,” pungkasnya. (E11)