JAKARTA, KOMPAS - Daya beli masyarakat menjadi kunci ketahanan pangan di kawasan perkotaan seperti Jakarta. Kemampuan untuk membeli ini termasuk pada aspek kecukupan jumlah dan kualitas pangan yang dikonsumsi.
Peneliti utama Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Haning Romdiati, Jumat (20/7/2018), mengatakan, sejumlah indikator lain dalam konsep ketahanan pangan yang relatif bisa dipenuhi adalah ketersediaan bahan pangan, akses geografis, dan distribusi.
“Ketahanan pangan (di perkotaan), kuncinya daya beli. Mereka (warga perkotaan seperti di Jakarta) tidak mungkin bisa produksi sendiri,” ujar Haning.
Minimnya kemampuan produksi ini relatif tidak ada lahan untuk ditanami. Hal ini cenderung berbeda dengan pedesaan yang relatif memiliki lahan untuk produksi komoditas pangan.
Terkait ketersediaan bahan pangan, Jakarta relatif tidak bermasalah. Pasalnya, dengan status sebagai ibu kota, pasokan pangan cenderung selalu tersedia hingga ke permukiman.
Untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah, Haning menambahkan, dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi terakhir, terdapat perubahan rekomendasi indikator angka kecukupan energi kalori dari 2.050 kkal per kapita per hari, turun menjadi 2.000 kkal per kapita per hari. Sementara angka kecukupan protein direkomendasikan naik menjadi 57 gram per kapita per hari dari sebelumnya 50 gram perkapita perhari.
Hal ini berpotensi mengubah komposisi penduduk yang dapat digolongkan dalam kategori miskin. Haning menambahkan, rekomendasi tersebut akan dimonitor pelaksanaannya kelak oleh kementerian terkait.
Pengaturan PKL
Yang penting diperhatikan, imbuh Haning, adalah isu konsumsi dalam konteks keamanan pangan. Misalnya, kecenderungan konsumsi pangan tidak sehat demi gaya hidup, ketimbang keamanan pangan di sebagian kalangan muda.
Peneliti bidang ekonomi dan ketahanan pangan Susy Sanie Herman menambahkan, terkait keamanan pangan di Jakarta, sudah sepatutnya dilakukan pengaturan pedagang kaki lima (PKL) makanan.
Selama ini, PKL cenderung tidak diatur dan tidak ditata. Dalam konteks tertentu, keberadaan PKL makanan bahkan cenderung dianggap sebagai persoalan di Jakarta. Padahal, perannya untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi warga Jakarta terbilang besar terutama untuk kalangan pekerja upah minimum.
Susy yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya, Jakarta, menambahkan, selama belum diatur, maka aspek keamanan pangan yang disediakan pedagang kaki lima makanan cenderung belum bisa dijamin. Aspek higienitas penjual, kebersihan makanan, lokasi berjualan, danseterusnya cenderung tidak terpantau dan relatif sesukannya karena tidak ada aturan.
Padahal, dengan belum adanya jaminan keamanan pangan ini, pengeluaran untuk sektor kesehatan relatif sangat besar menyusul ancaman yang mengintai selama belum adanya pengaturan.