JAKARTA, KOMPAS - Proyek Taman Kalibesar di kawasan Kota Tua dinilai mengubah fungsi kali menjadi ”kolam”. Perubahan ini juga dianggap merusak struktur cagar budaya sehingga proyek dihentikan Pemprov DKI sejak awal tahun 2018. Penghentian proyek ini dinilai tepat karena dapat berpotensi terjadinya kerusakan struktur lebih serius.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Prof Mundarjito mengatakan, penghentian proyek ini terjadi setelah dia mengadukannya ke Pemprov DKI Jakarta. ”Setelah saya adukan kasus ini ke Pemprov DKI, awal tahun ini proyek tersebut sudah dihentikan,” kata Mundarjito, Kamis (19/7/2018), di Jakarta.
Menurut Mundarjito, perubahan fungsi dengan membuat taman dan jalan apung di Kalibesar belum melewati prosedur yang benar.
Seharusnya, arsitek melaporkan rancangannya pada Tim Sidang Pemugaran (TSP) dan TACB. Kedua tim ahli yang ditunjuk Gubernur DKI ini kemudian memberi sejumlah koreksi, masukan, dan persetujuan rancangan. Setelah itu, rancangan arsitek dapat diwujudkan. TACB memiliki kewenangan untuk melindungi bangunan cagar budaya, sedangkan TSP berwenang mengembangkan cagar budaya.
”Si arsitek perancang taman dan jalan apung ini tidak pernah sekalipun berkonsultasi dengan TSP dan TACB. Waktu dia saya tanya, bicaranya singkat, ’Tidak tahu,’ soal prosedur ini,” kata Mundarjito.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadjamuddin Ramly mengingatkan Pemprov DKI agar segera memulihkan fungsi Kalibesar. ”Bongkar taman, jalan apung, dan instalasi penjernih jika bertujuan hanya untuk menjernihkan kolam,” ujar Nadjamuddin.
Nadjamuddin mengimbau Pemprov DKI menghargai prinsip-prinsip warisan dunia, yaitu keterpaduan dan kesinambungan serta keaslian, termasuk rencana induk pengelolaan.
Laporan terlambat masuk
Adapun Ketua TSP Bambang Eryudhawan mengaku tidak bisa berbuat banyak karena saat laporan mengenai perubahan fungsi Kalibesar masuk kepadanya, proyek sudah berjalan hampir selesai.
”TSP dan TACB termasuk saya dan Prof Mundarjito ini, kan, ditunjuk gubernur. Ya, kalau perancang bilang sudah mendapat persetujuan gubernur, ya, silakan,” kata Bambang beberapa waktu lalu.
Beberapa kali Kompas menghubungi Budi Liem, arsitek perancang taman dan jalan apung Kalibesar, sayangnya usaha itu belum berhasil. Perubahan fungsi kali ini menjadi salah satu penyebab International Council on Monuments and Sites (Icomos) tidak merekomendasi Kota Tua sebagai warisan dunia ke UNESCO, lembaga kebudayaan PBB.
Icomos adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang konservasi dan perlindungan warisan budaya. Organisasi yang berbasis di Paris ini kerap menjadi rujukan utama UNESCO.
Pada bagian lain, baik Mundarjito maupun Bambang setuju agar tepian Kalibesar dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik baru. ”Kalau itu saya tidak keberatan. Namun, jangan mengubah fungsi Kalibesar dari yang sebelumnya,” kata Mundarjito.
Menyinggung bangunan yang diratakan dengan tanah di antara Restoran Galangan Kapal VOC dan Restoran Raja Kuring, tepatnya di Jalan Kakap (bukan Jalan Tongkol seperti ditulis Kompas sebelumnya), adalah bukan cagar budaya. Bangunan itu dibangun sekitar tahun 1951 yang awalnya adalah kantor dan gudang Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Pembongkaran bangunan itu dilakukan sepengetahuan Camat Penjaringan Muhammad Andri. (WIN)