JAKARTA, KOMPAS - Pengelolaan kawasan Condet di Jakarta Timur tidak bisa dilepaskan dari aliran Sungai Ciliwung. Upaya pelestarian dari sudut pandang budaya, keragaman vegetasi tanaman dan buah-buahan, serta kekayaan situs prasejarah dinilai takkan berjalan tanpa memerhatikan kelestarian aliran Ciliwung.
Demikian terangkum dalam kegiatan bertajuk “Talkshow Sejarah: Cerita Sual Condet dan Situs Prasejarah,” Minggu (22/7/2018) di Pasar Seni, Ancol, Jakarta Utara. Diskusi tersebut terkait dengan acara “Ancol Kampung Betawi Festival” dan pameran toponimiWall OfFrame Sejarah Betawi di Kampung Betawi.
Pendiri dan Ketua Condet Kita Foundation Lantur Maulana mengatakan, selama ini penanganan terhadap Sungai Ciliwung cenderung menihilkan peran pentingnya terhadap kawasan Condet. Misalnya saja kebijakan untuk melakukan normalisasi sungai dengan pembetonan berupa dinding turap dan pembangunan jalan inspeksi berlapis beton.
Pembangunan turap yang mengubah bentang sungai dapat mengubah bentuk alami sungai yang sesungguhnya telah memiliki ketahanan terhadap ancaman banjir. Selain itu, dinding sungai yang dilapisi beton cenderung tidak memberikan ruang tumbuh bagi organisme tertentu dengan fungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Lantur mengatakan, pembangunan jalan inspeksi cenderung menghilangkan daerah resapan air. Sementara di sisi lain, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 646/2016 tentang Tim Percepatan Penataan dan Pengembangan Lahan Buah Condet dan Villa Nova Sebagai Destinasi Wisata.
Belum lagi dengan limbah industri yang mencemari alirang Sungai Ciliwung. Ini masih ditambah dengan ancaman bakal hilangnya situs-situs prasejarah yang tersebar di sejumlah titik bantaran kali dalam wilayah Condet.
“Tabrakan SK (Nomor) 646 dengan (proyek) betonisasi (sungai),” ujar Lantur.
Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta Candrian Attahiyat menambahkan, Condet dan Sungai Ciliwung memang adalah satu kesatuan. Karena itulah, pemisahan, dengan menganggap seolah tidak ada hubungan di antara keduanya, tidaklah bisa dilakukan.
“Nilai penting Condet adalah sejarah,” kata Candrian.
Identitas Condet
Salah seorang peserta diskusi yang mewakili Komunitas Sanggar Betawi Cakung, Rusli, mempertanyakan tentang identitas Condet sebagai kampung. Menurutnya, Condet saat ini cenderung hanya berupa Jalan Raya Condet namun relatif tanpa kampung.
Untuk itulah, imbuh Lantur, hal lain yang juga penting untuk segera diperhatikan adalah pengembalian identitas “Condet” dalam dokumen kependudukan dan nama-nama jalan dan sejumlah lokasi yang terkait dengan sejarah dan asal-usulnya, namun kini diubah begitu saja. Lantur mencontohkan, hal itu seperti kawasan Rawa Kodok yang diubah menjadi Rawa Elok dan Jalan Entong Endut yang diubah jadi Jalan Haji Ayama.
Ia mengatakan, pihaknya juga segera meminta agar nama-nama pahlawan Condet bisa dipergunakan sebagai nama jalan-jalan di kawasan tersebut. Selain itu, pihaknya juga segera meminta agar sejumlah nama kawasan seperti Condet Bale Kambang dan Condet Batu Ampar bisa kembali dituliskan dalam dokumen kependudukan. Saat ini, nama-nama tersebut hanya kawasan kelurahan yang menajdi bagiandari Kecamatan Kramat Jati, tanpa penyebutan “Condet” di dalamnya.
Berdasarkan catatan Kompas, kawasan Condet sebagai cagar budaya cenderung terus jadi pro dan kontra setelah ditetapkan dengan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 18 Desember 1975. Konsep penanganan yang komprehensif terkait penetapan sebagai cagar budaya masih terus ditunggu.