Merawat Nilai Budaya Betawi dari Pondok Melati
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan Lebaran Betawi di Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (4/8/2018), mengangkat pentingnya pelestarian nilai tradisi budaya Betawi. Bertema ”Ngebesan”, pelaksanaan Lebaran Betawi kali ketiga ini dimeriahkan dengan atraksi pencak silat ”seribu jawara” dari delapan padepokan pencak silat se-Kota Bekasi.
Sejak pukul 08.30, pengantin laki-laki berjalan berarakan diiringi pemain musik dengan tabuhan rebana. Di belakangnya, para pengantar sesajian membawa seekor kambing juga memikul sejumlah bahan makanan, seperti beras, bumbu dapur, hingga dodol khas Betawi. Seorang pendamping pengantin lelaki memungguk dandang untuk wadah menanak nasi.
Mereka melangkah dari gerbang kompleks perumahan Allure Mansion, Jalan Kampung Sawah, menuju halaman terbuka Yayasan Fisabilillah, Kampung Sawah, Jatimurni, Pondok Melati, Kota Bekasi. Di situ didirikan sebuah panggung yang disulap sebagai tempat ”kediaman” keluarga mempelai perempuan. Berdiri di panggung, mempelai perempuan dengan diapit dua pendamping.
Perlahan-lahan, langkah rombongan pengiring pengantin lelaki terhenti. Bunyi letusan dar-dar-dar petasan yang terkalung di leher Bang Ji’i, seorang seniman Betawi, mengundang perhatian warga. Sekitar empat menit sesudahnya, barisan pengantin lelaki mendekati area depan panggung. Perwakilan keluarga calon mempelai perempuan dan lelaki berdialog sambil saling berbalas pantun juga diteruskan adu silat.
Pemandangan itu mengantarkan kita ke satu budaya dalam tradisi Betawi, yang disebut Ngebesan. Besan atau berbesan merupakan hubungan yang mengikat dua keluarga saat seorang lelaki hendak menikahi seorang perempuan.
Dahulu, dalam budaya Betawi, seperti diungkapkan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, anak perempuan umumnya hanya tinggal di dalam rumah. Perempuan dipandang tabu bila sering keluar rumah. Maka, bilamana ada lelaki hendak meminang si perempuan, ia memohon izin kepada orangtua gadis.
”Dulu, namanya ’Buka Tabu’. Kepala rombongan yang bawa anteran, bawa bendera Merah Putih, diikuti pemain rebana. Rombongan itu dilepas dengan membaca shalawat dustur,” kata Ridwan dalam acara kongkow bersama di panggung utama Lebaran Betawi Pondok Melati. Di acara ini, turut hadir Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bekasi Ahmad Jarkasi dan Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi Heri Koswara.
Ridwan mengatakan, prosesi Ngebesan juga menyertakan nyanyian Sikke. ”Di kalangan masyarakat Katolik di Flores, Sikke atau Sikka untuk mengantarkan orang mati. Kalau di Betawi untuk pernikahan,” ungkap Ridwan. Ia menyebutkan hal itu sebagai wujud akulturasi antara suku Flores di Nusa Tenggara Timur dan Betawi di Jakarta.
Silaturahim dalam perbedaan
Ketua Komunitas Orang Bekasi (Koasi) Syarin Sarmadi menuturkan, gagasan penyelenggaraan Lebaran Betawi sejak 2016 didorong niat untuk memperkenalkan kekayaan budaya asli yang bertumbuh di Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. KOASI tergugah setelah dalam beragam acara di sejumlah gereja setempat, sebagian penganut Katolik mengenakan beragam rupa pakaian khas Betawi. Begitupun yang terjadi di sejumlah masjid-masjid di kecamatan tersebut.
”Kita juga terdorong untuk lebih mengenalkan lagi tentang budaya Betawi kepada masyarakat luas lewat Lebaran Betawi,” kata Syarin.
Adapun menurut Marvianus Rasman Niman, warga Kampung Sasak Djikin, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Lebaran Betawi merupakan kesempatan memperkuat silaturahmi antarkerabat seusai merayakan Idul Fitri.
”Umumnya diadakan sewaktu bulan apit. Itu adalah waktu musim panen hasil tani, kita adakan Sedekah Bumi,” kata Marvi, yang juga mengelola Sanggar Seni Sasak Djikin dan koordinator mata acara pencak silat ”seribu jawara”.
Budayawan Betawi asal Bekasi, Usman Affandi, menekankan, pelestarian budaya Betawi merupakan langkah penting yang harus terus dilakukan. ”Masyarakat kita sekarang, terutama orang muda, sudah lebih banyak mengenal budaya luar. Padahal, budaya lokal itu sangat kaya dengan nilai-nilai pegangan hidup,” katanya.
Menyambung hal itu, Ahmad Jarkasi mengatakan, pihaknya akan memetakan 37 situs cagar budaya di Kota Bekasi untuk dikembangkan agar lebih menarik kunjungan wisatawan.
Lebaran Betawi Pondok Melati kali ini lebih dikembangkan dengan tema yang baru. Seperti dikatakan Ketua Panitia Lebaran Betawi Hermawan, ”Kami ingin Lebaran Betawi tahun ini punya nilai motivasi dan edukasi dengan tema yang berkembang. Jadi tidak hanya untuk berkumpul, tetapi mengangkat budaya lokal dan keunggulan seni budaya kita,” katanya.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Lebaran Betawi berkutat pada ajang silaturahim semata. Hermawan menjelaskan, pada 2016, misalnya, tema ”Nyorok” dipilih sebagai pengingat untuk berkumpulnya anggota keluarga seusai berlebaran. Setahun kemudian, tak jauh berbeda dengan itu, tema ”Ngarak Barong” dipilih dengan tambahan figur— semacam ogoh-ogoh dalam budaya Bali—sebagai media penarik perhatian masyarakat untuk berkumpul.
Selain mengangkat kembali nilai dari tradisi Ngebesan tersebut, Lebaran Betawi kali ini juga menyajikan atraksi pencak silat dari delapan padepokan se-Kota Bekasi. Para pesilat tradisional Betawi ini berusia 7-17 tahun.
Seno Hidayat (21), seorang pengajar silat di Sanggar Seni Sasak Djikin, mengatakan, pengajaran seni budaya, seperti pencak silat, bertujuan membentuk kepribadian tangguh dan berani.
Farrel (10), salah satu murid Sanggar Seni Sasak Djikin, mengatakan, ia menyenangi kebersamaan dan kekompakan saat berlatih bersama temannya di sanggar.
Di sanggar ini, murid juga didorong untuk lebih berprestasi di sekolah. ”Selain latihan pencak silat setiap malam Kamis dan malam Minggu, kami juga adakan bimbingan belajar buat murid yang nilai-nilai mata pelajarannya masih ada yang kurang supaya kemampuannya enggak cuma bagus di seni atau olahraga, tetapi juga di pelajaran lain,” kata Seno.
Delapan padepokan pencak silat yang tampil siang itu membawakan beragam gerak silat. Dengan warna dan tampilan kostum yang berbeda-beda, mereka bergiliran tampil. Ada yang unjuk kebolehan dalam ketangkasan beradu fisik. Ada pula yang memperlihatkan kekompakan dalam gerak silat dengan tangan kosong ataupun membawa golok.
”Silat itu beragam alirannya dan dari keberagaman itulah kita bisa bersatu,” kata Marvi.
Lebaran Betawi Pondok Melati dimeriahkan dengan sentra kuliner khas Betawi. Puluhan stan usaha makanan seperi kerak telor dan dodol betawi dijajakan di area sebelah kiri dari panggung. Beberapa perkakas kuno Betawi juga dipajang di satu sudut, seperti ani-ani untuk memotong padi, seterika arang, lumpang, dan dandang tembaga. (ROBERTUS RONY SETIAWAN)