Kasus FT Masuk Tahap Pemeriksaan Saksi
JAKARTA, KOMPAS - Sidang lanjutan kasus FT (22) kembali digelar di Pengadilan Negeri Bekasi, Rabu (29/8/2018). FT didakwa melakukan penipuan dan penggelapan. Sidang kemarin dilaksanakan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.
Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Lutfi, hakim anggota Tongani dan Eli Suprapto. Saksi yang dihadirkan atas nama DM selaku korban dan Roky Sitompul, pemilik nomor rekening yang dipakai FT untuk menerima transferan uang dari DM.
DM dalam kesaksiannya mengatakan, memesan baju batik dari FT karena tertarik dengan model baju yang dikirim oleh FT melalui pesan di media sosial Facebook. Selain itu, baju yang dijual FT juga tergolong murah, yaitu satu helai baju, Rp 250.000.
"Karena harganya murah, saya pesan 10. Lima untuk saya dan sisanya akan saya kirim ke beberapa teman saya yang ada di Aceh," ujarnya.
DM menambahkan, setelah itu ia mentransfer uang sebesar Rp 2,5 juta rupiah di Mal Ciputra, Bekasi. Namun, hingga satu minggu, pakaian tersebut tidak kunjung ia dapatkan.
"Karena saya emosi, saya ancam bahwa dalam waktu satu jam uang saya harus dikembalikan," ucapnya.
Dewi menambahkan, tujuan ia melaporkan FT untuk memberikan efek jera, karena banyak pihak yang telah menjadi korban. "Saat saya telusuri kronologi di facebooknya, itu ternyata banyak yang komentar kalau barang yang mereka pesan sudah berhari-hari tapi belum dikirim. Di situ baru saya sadar kalau saya sudah ditipu," ujarnya.
Saksi lainnya, Roky Sitompul mengatakan, ia baru berkenalan dengan FT selama empat bulan. Roky mengaku menjalin hubungan dengan FT sebagai kekasih.
Namun, Roky tidak mengetahui FT meminta nomor rekeningnya untuk digunakan menerima transfer uang dari DM. "Dia minta nomor rekening saya, dengan alasan kakaknya mau transfer uang," ujar Roky.
Berpindah-pindah
Akibat dari keterlambatan tersebut, FT dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan penipuan dan penggelapan.
FT dijemput petugas kepolisian dan dibawa ke Kepolisian Sektor (Polsek) Makasar, Pinang Ranti, Jakarta Timur. Ia kemudian dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan selanjutnya di pindahkan ke Polsek Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, untuk kepentingan pembuatan berita acara pemeriksaan.
Pada tanggal 4 Mei 2018, FT ditahan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2018, FT mulai mengikuti proses persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi, Jawa Barat.
FT merupakan ibu tunggal yang memiliki satu orang anak dan sedang hamil tujuh bulan. FT diancam hukuman penjara paling lama empat tahun karena diduga melanggar pasal 372 junto 378 KUHP.
Berjualan Pakaian
Data yang dihimpun Kompas dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadialan (LBH Apik), menyebutkan, FT memulai usaha batik sejak tahun 2012. Usahanya untuk mempromosikan batik ini pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Perindustrian pada awal tahun 2018.
FT awalnya menjual pakaian dengan membuka kios di Mal Thamrin City, Jakarta Pusat. Karena mahalnya biaya untuk menyewa lapak, ia beralih menjual secara online menggunakan media sosial Facebook. Dari Facebook, ia berkenalan dengan DM, yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil di Kepolisian Republik Indonesia.
Menyalahi Aturan
Kuasa hukum FT dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (Apik), Romy Leo, mengatakan, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, kasus yang melibatkan FT, tidak harus dilakukan penahanan.
Pasal 2 ayat (2) dan (3), menyebutkan dalam suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan kerugian tidak lebih dari 2,5 juta, ketua pengadilan menetapkan hal itu sebagai tindak pidana ringan dan diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat. Selain itu, ketua pengadilan juga tidak menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan.
Romy menambahkan, kasus yang menimpa FT, bukan merupakan kasus pidana. "Ini kasus jual beli antara FT dan DM (korban). Masalahnya FT terlambat mengirim barang yang dipesan DM. Sehingga menurut kami itu seharusnya masuk ranah privat atau hukum perdata," ujar Romy.
Romy, juga menyesalkan tindakan dari DM yang menolak untuk berdamai, meski FT telah menyatakan kesanggupannya mengembalikan kerugian yang dialami DM.
"Pemidanaan itu termasuk ultimatum remidium. Artinya hukuman pemidanaan itu merupakan sanksi pamungkas yang dipakai dalam penegakan hukum, jika tidak ada lagi upaya lain," ujarnya.
Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Negeri Bekasi, Herning Rostikartini, mengatakan, setiap orang diperlakukan sama di depan hukum. "Apakah seorang yang hamil jadi kebal hukum? Tidak. Jika karena hamil, tidak dipenjara itu tidak adil berdasarkan hukum," ujarnya.
Begitu pula dengan DM yang sebagai warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. "Statusnya mau setinggi apa pun, kalau dia dirugikan, berarti dia punya hak untuk meminta perlindungan hukum," ucapnya.
Herning menambahkan, keputusan Kejaksaan Negeri Bekasi menahan FT didasarkan pada pertimbangan pada alat bukti yang cukup serta kekhwatiran terdakwa melarikan diri.
"Kalau Perma Nomor 02 Tahun 2012, itu dikeluarkan institusi Mahkamah Agung. Kalau Kejaksaan beda institusi, jadi tidak mengikat kami untuk harus ikuti Perma itu," tutur Herning.
Koin Keadilan
Selain memberikan bantuan hukum, LBH Apik juga mengumpulkan koin untuk menebus kerugian yang dialami Dewi. Koin yang dikumpulkan selama dua minggu itu mencapai Rp 10 juta. Koin itu, menurut tim LBH Apik, merupakan kontribusi dari masyarakat yang ingin membantu membebaskan FT dari jeratan hukum.
Saat usai persidangan, anggota LBH Apik menenteng koin yang disimpan pada dua boks plastik untuk diserakan kepada Dewi sebagai ganti rugi. Akibatnya sempat terjadi kericuhan di depan halaman Pengadilan Negeri Bekasi.
Salah satu anggota LBH Apik yang menolak menyebutkan namanya mengatakan, koin ini merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap FT, yang menjadi korban arogansi kekuasaan. (Stefanus Ato)