Jakarta Integrasikan Tarif
Demi perbaikan layanan angkutan publik, Pemprov DKI Jakarta sedang merumuskan integrasi tarif tiga moda. Targetnya integrasi tarif ini dapat diwujudkan awal tahun 2019.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan integrasi tarif angkutan penumpang. Integrasi tarif itu dirancang untuk moda angkutan massal cepat (MRT), kereta ringan (LRT), dan transjakarta. Program integrasi ini ditargetkan dapat terwujud pada tahun 2019.
Tarif terintegrasi itu saat ini sedang dirumuskan bersamaan dengan besaran subsidi yang diberikan pemerintah. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan, pembahasan tarif ini mempertimbangkan kemampuan warga membayar.
”Kami sudah menghitung kemampuan dan kemauan warga membayar dari setiap moda angkutan yang jadi pertimbangan dalam pembahasan,” ujar Andri, Selasa (18/9/2018), di Jakarta.
Sementara itu, Kepala Biro Perekonomian Pemprov DKI Jakarta Sri Haryati menjelaskan, tim tarif secara berkala terus membahas hal ini hingga dapat memutuskan besaran yang memungkinkan. ”Dua kali seminggu kami membahas karena pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019 makin dekat,” kata Sri.
Adapun tim tarif yang dimaksud terdiri dari Biro Perekonomian, Dinas Perhubungan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta, LRT, MRT, dan PT Transportasi Jakarta. Dalam pembahasan besaran tarif, pola pemanfaatan aset menjadi salah satu komponen yang dibahas dan menjadi salah satu dasar penyusunan asumsi.
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Dwi Wahyu Daryoto menjelaskan, tarif LRT ditawarkan Rp 15.600. Sementara Dewan Transportasi Kota Jakarta mengusulkan Rp 10.800.
Untuk MRT Jakarta, mereka mengusulkan tarif berdasarkan hasil survei keterangkutan penumpang yang dihitung dari kemauan mereka berpindah menggunakan angkutan umum, yakni Rp 8.000-Rp 5.000.
Tim tarif belum menentukan siapa yang akan mengelola pemasukan tarif pada saat integrasi berjalan. Paling tidak, integrasi ini bermuara pada penggunaan satu kartu untuk ketiga moda angkutan tersebut.
Ketimpangan
Di Kota Depok, Jawa Barat, integrasi antarmoda semakin mutlak dibutuhkan. Saat ini terjadi ketimpangan layanan antara transportasi massal yang ada dan angkutan penumpang. Persoalan ini menyebabkan mobilitas warga terhambat.
Ketimpangan yang terjadi, misalnya, pada kereta rel listrik (KRL) dengan angkutan kota (angkot) setempat. Layanan KRL yang mulai tertib jam keberangkatannya tidak selaras dengan angkutan kota di sana. Sebagian warga memanfaatkan angkutan pribadi ke tempat tujuan setelah menggunakan KRL.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wihana mengakui, wilayah ini belum memiliki rencana pengembangan angkutan massal, seperti bus rapid transit (BRT). ”Untuk sementara kami optimalkan yang ada,” kata Dadang.
Saat ini moda transportasi pengumpan di dalam kota Depok adalah angkutan kota. Ada 2.884 angkutan kota yang melayani 22 trayek di Kota Depok dengan jumlah penumpang terus menurun.
Persoalan ini menjadi perhatian serius Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Bambang Prihartono. Menurut Bambang, ada ketimpangan layanan ketika penumpang KRL turun dari stasiun. ”Ini akan kami samakan agar semakin banyak orang beralih menggunakan transportasi massal,” kata Bambang.
Angkutan bus penumpang sudah dijalankan di sejumlah daerah, seperti Transanggrek di Tangerang Selatan dan Transpakuan di Bogor. Transanggrek, misalnya, setelah ada satu koridor akan ditambah menjadi empat koridor. Kepala Dinas Perhubungan Kota Tangerang Sukanta mengatakan, penambahan empat koridor itu akan dilakukan tahun 2019.
Konversi angkot
Di Bogor, pemerintah setempat sedang menata operasional angkutan kota. Dinas Perhubungan dan Komisi 3 DPRD Kota Bogor membahas program konversi angkot. ”Kami akan menerapkan trayek angkot baru,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Bogor Rakhmawati.
Trayek baru angkot Bogor terdiri dari 7 trayek utama dan 23 trayek pendukung. Dua trayek utama saat ini sudah beroperasi, yaitu Transpakuan 1 jurusan Cidangiang-Bubulak dan Transpakuan 7 jurusan Cidangiang-Sentul City. Layanan penumpang di dua trayek utama itu dilakukan dengan menggunakan bus sedang dan dioperasikan oleh Perusahaan Daerah Jasa Transportasi.
Pemkot Bogor mulai mengenalkan angkot modern untuk mendukung layanan penumpang. Kepala Angkutan Dishub Kota Bogor Jimmy Hutapea mengatakan, angkot modern itu selaras dengan program konversi angkot. Sebab, selain skema tiga angkot diganti satu bus sedang, juga ada skema tiga angkot diganti dua angkot besar.
Secara umum, anggota DPRD Kota Bogor mendukung penerapan konversi angkot, termasuk penjelasan tentang berkurangnya kebutuhan sopir angkot dan bertambahnya kebutuhan tenaga staf manajemen dan pemeliharaan kendaraan di para badan hukum jasa angkutan umum.
Dinas Perhubungan Kota Bogor telah menerima permohonan rekomendasi operasional angkot modern dari Koperasi Duta Jasa Angkutan Mandiri (Kodjari). Kodjari mengajukan permohonan 20 unit angkot untuk beroperasi di trayek TPK 4 dalam waktu dekat. (UTI/HLN/RTS)