JAKARTA, KOMPAS – Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek berkomitmen mengurangi polusi udara melalui program armada bus kota tanpa jelaga. Dalam realisasinya, penggunaan armada bus bertenaga gas menjadi pilihan yang diambil mengingat bahan bakar yang memenuhi standar emisi Euro 6 belum tersedia di Indonesia.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, menjelaskan, secara teknis, program armada bus kota tanpa jelaga membutuhkan penerapan teknologi Euro 6 secara menyeluruh. Hal itu meliputi ketersedian armada bus dengan teknologi mesin Euro 6 dan ketersediaan bahan bakar dengan kadar belerang maksimal 10 bagian per sejuta (part per million/ppm).
Adapun di Indonesia, tingkat kandungan kadar belerang dalam bahan bakar yang beredar masih berkisar antara 3.500 ppm hingga 5.000 ppm. “Sebenarnya, jika dikerjakan dengan serius, saya rasa bahan bakar standar Euro 6 bisa tersedia pada tiga tahun ke depan,” ujar Ahmad, Rabu (17/10/2018).
Menanggapi komitmen Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk menggunakan armada bus bertenaga gas, Ahmad menilai langkah itu sudah tepat. Ia mengatakan, penggunaan armada bus bertenaga gas merupakan lompatan alternatif yang perlu dilakukan untuk segera mengurangi emisi kendaraan umum.
“Kita tidak bisa hanya menunggu sampai teknologi yang dibutuhkan benar-benar siap. Langkah alternatif harus segera diambil agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah,” kata Kepala BPTJ Bambang Prihartono saat penandatanganan kerja sama antara BPTJ, KPBB dan International Council on Clean Transportation (ICCT).
Menurut Bambang, penandatanganan kerja sama itu merupakan usaha percepatan program armada bus kota tanpa jelaga. “KPBB dan ICCT akan berfungsi sebagai lembaga pengawas yang bertugas mengawal pengambilan keputusan terkait program armada bus kota tanpa jelaga,” ujar Bambang.
Pengawasan oleh pihak ketiga itu diperlukan agar program armada bus kota tanpa jelaga tetap berjalan konsisten meskipun nantinya para tokoh pemangku kepentingan berganti. Selain itu, keterlibatan pihak ketiga juga diperlukan sebagai pengawas independen yang mengukur kemajuan program itu.
Namun, menurut Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi Sutanto Soehodho, program armada bus kota tanpa jelaga saja tak cukup signifikan mengurangi polusi udara di Jakarta. Ia menekankan perlunya konsep integrasi sistem transportasi yang bertolak pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sutanto berpendapat perlunya pemerintah merancang program lain yang bersifat mengikat agar masyarakat juga turut serta mengurangi polusi udara. Sebagai contohnya, ia mengapresiasi pemberlakuan sistem ganjil genap berhasil yang mendongkrak kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta dari sebelumnya 20 kilometer (km) per jam menjadi 50 km per jam.
“Kecepatan kendaraan berpengaruh langsung pada efisiensi penggunaan bahan bakar. Semakin sering suatu kendaraan terhambat, maka semakin banyak pula bahan bakar yang terbuang sia-sia,” ujar Sutanto.
Senada dengan Sutanto, Kepala Program Udara Bersih ICCT Ray Minjares mengatakan, Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis untuk mengatasi polusi udara. Selama ini, Indonesia sudah tertinggal dari Thailand, Malaysia, dan Filipina yang lebih dulu menggunakan bahan bakar rendah belerang dengan kadar maksimal 50 ppm.
“Kalian yang harus menjawabnya. Negara lain sudah membuktikan mereka sanggup mengurangi polusi udara, sekarang saatnya kalian menunjukkan Indonesia bisa melakukan hal yang sama,” ujar Ray saat ditanya peluang Indonesia mengatasi polusi udara di Jakarta. (PANDU WIYOGA)