Perbaiki Sistem Perizinan untuk Kegiatan Penyelidikan di Penjara
Oleh
E08
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan masih menjadi masalah besar di Indonesia. Sistem perizinan khususnya untuk kegiatan penyelidikan harus diperbaiki secepatnya guna memaksimalkan upaya pemberantasan narkoba di balik penjara.
Direktur Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur Jenderal Arman Depari mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membahas masalah ini. Sistem perizinan yang sulit dapat menyebabkan hilangnya barang bukti yang diperlukan untuk menguak jaringan narkotika.
"Masih adanya kasus narkoba di lapas seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem yang kurang berjalan dengan baik," katanya saat ditemui di Kantor BNN di Cawang, Jakarta Timur, Selasa (16/10/2018) siang.
BNN kembali mengungkap kasus peredaran gelap narkotika di dua Lembaga Pemasyarakatan (LP), yaitu LP Salemba, Jakarta Pusat pada Sabtu (29/9/2018) dan LP Tarakan, Kalimantan Utara pada Minggu (7/10/2018). Tersangka berinisial F dari LP Tarakan dan AS alias Me\'eng asal Rutan Salemba merupakan dua dari sepuluh tersangka yang diamankan.
Selain itu, sejumlah barang bukti berupa 1,5 kilogram sabu, 63.573 butir pil ekstasi, sepuluh buah telepon genggam beserta kartu SIM, juga uang tunai senilai Rp 45 juta diamankan. BNN juga mengamankan sebuah kapal cepat dan satu unit mobil sedan yang digunakan untuk menyelundupkan narkoba.
Arman mengatakan, proses perizinan untuk masuk ke LP sebenarnya tidak sulit, dengan catatan pihak BNN telah mengetahui identitas jelas penghuni. Pihak LP biasanya akan langsung menyerahkan orang tersebut untuk diperiksa lebih lanjut.
Masalah yang dihadapi adalah saat proses penyelidikan. BNN selalu kesulitan mendapatkan izin untuk menyelidiki dugaan peredaran narkotika di LP. Kalaupun telah mengantongi izin, dalam proses pemeriksaan lapas tersebut sudah "bersih" dari barang-barang bukti.
Waktu perizinan lama itulah yang menjadi celah bagi para pengedar untuk membuang atau mengamankan barang bukti. Hal ini membuat BNN semakin kesulitan dalam membongkar sindikat narkoba di lapas.
Lebih lanjut, Arman menjelaskan hal paling penting yang harus didapatkan saat menyelidiki penghuni lapas adalah alat komunikasi. Telepon genggam atau gawai lainnya memiliki jejak digital yang ditinggalkan seperti bukti transaksi, nomer rekening, dan lainnya. Jejak ini merupakan hal vital yang dapat membantu BNN dalam memecahkan kasus.
"Bila alat komunikasi tidak kami dapatkan, maka jaringan yang ingin kami ungkap bisa terputus," kata Arman.
Dihubungi di tempat terpisah, Kepala Humas Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto mengungkapkan proses perizinan untuk penyelidikan tidak dipersulit sama sekali. Untuk mendapat lampu hijau dengan cepat sebenarnya hanya masalah koordinasi.
Ade menuturkan, BNN tinggal menelepon kepala LP. Ia juga membantah bahwa sikap Ditjen Pemasyarakatan tertutup dan terkesan mempersulit proses investigasi.
"Kami tidak pernah menutup diri bila ada indikasi salah satu penghuni LP merupakan pengguna atau pengedar narkoba yang aktif. Akan kami bantu secara maksimal," ujar Ade.
Ade juga memahami bila BNN melakukan penyelidikan secara mendadak karena tidak ingin informasi tersebut bocor. Akan tetapi, Ditjen Pemasyarakatan juga harus mempertimbangkan keamanan dan ketertiban rutan. Ia mengingatkan agar proses investigasi jangan sampai mengganggu kehidupan narapidana.
Bila komunikasi antara kedua pihak dijalin dengan baik, maka proses investigasi dapat berjalan lancar tanpa mengganggu kehidupan di rutan."Karena antar penghuni (rutan) itu saling melindungi satu sama lain, jadi perlu koordinasi yang konstan agar tidak terjadi kerusuhan," tambah Ade.
Pengawasan
Selain perizinan, sistem pengawasan di tiap LP juga harus diperbaiki. Komisaris Besar Polisi Heri Estu, Kepala Sub Direktorat Interdiksi Darat dan Lintas Batas BNN mengatakan, sebenarnya para pegawai LP pasti telah melakukan usaha sebaik mungkin demi memberantas peredaran narkoba di rutan. Tetapi, faktor kelebihan kapasitas dan kecerdikan penghuni membuat hal ini masih terjadi.
Heri berpendapat, menempatkan 10 hingga 20 orang napi dalam satu kamar sangat tidak efektif. Hal semacam ini membuat komunikasi antarnapi akan semakin baik dan berpotensi besar memunculkan praktek seperti peredaran narkotika.
Untuk menghilangkan kegiatan tersebut, sebaiknya komunikasi antar napi dibatasi. Salah satu caranya adalah dengan membangun rutan yang hanya menampung satu atau dua orang pada tiap kamarnya. Sistem semacam ini juga dinilai dapat meringankan beban kerja para penjaga.
"Harus dipertimbangkan juga faktor pendukung seperti fasilitas keamanan yang bagus dan kegiatan di dalam rutan tersebut agar mereka tidak kembali melakukan tindakan kriminal," terangnya.
Ade mengatakan, LP seperti itu sudah ada di Indonesia. Tempat tersebut dikhususkan untuk pelaku kejahatan berbahaya seperti teroris atau gembong narkoba besar (high risk).
Menurut Ade, sudah ada lima LP high risk di Indonesia, satu di Pulau Sumatera, tiga di Pulau Jawa dan satu di Pulau Kalimantan. Kelimanya adalah LP Kelas I Batu di Nusakambangan, Jawa Tengah, LP Pasir Putih (Jawa Tengah) , LP Narkotika Kelas III Kasongan (Kalimantan Tengah), LP Narkotika Kelas III Langkat (Sumatera Utara), dan Rutan Gunung Sindur (Bogor, Jawa Barat).