Tak Ada Kolam, Tragedi Kubangan Pun Terjadi
Kamis (18/10/2018) pukul 11.00, bel pulang sekolah Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatul Athfal berbunyi. Muhamad Ilham (8) bersama enam kawannya segera pulang untuk meletakkan tas dan melepas sepatu.
Tanpa berganti pakaian lebih dulu, mereka lalu berlari kencang ke sebuah proyek kompleks perumahan milik PT Gapura Prima yang belum jadi. Tujuan ketujuh anak itu sama, berenang di kubangan air yang terdapat di dalam lokasi proyek.
Dua hari sebelumnya, hujan turun berturut-turut dan membuat ceruk galian itu digenangi air keruh bercampur lumpur. Bagi ketujuh anak itu, kubangan air tersebut bagaikan surga bermain tempat yang telah lama mereka idamkan.
Rumah ketujuh anak itu terletak di Kedung Halang Poncol, Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Bogor. Rumah mereka saling berdekatan dan mereka juga terikat pertalian darah satu sama lain.
Tempat tinggal mereka tak jauh dari kompleks perumahan Bukit Cimanggu City. Di kompleks itu, ada sebuah wahana bermain bernama Marcopolo Water Adventure.
Sudah lama mereka bertujuh ingin berenang di sana. Namun, apa boleh buat, mereka hanya anak kampung yang orangtuanya bekerja serabutan.
Peluang bermain air datang pada Rabu (17/10/2018). Saat hujan pertama datang dan menggenangi ceruk galian di kompleks proyek itu.
Namun, misi ketujuh anak itu untuk berenang di kubangan gagal karena petugas proyek melarang mereka memasuki area itu.
Ketujuh anak itu cukup cerdas rupanya. Pada hari berikutnya, mereka kembali lagi ke tempat yang sama. Kali ini tepat pada waktu para pekerja proyek sedang istirahat.
Saat akan menuju lokasi, ketujuh anak yang riang itu melewati Soni Sunggoro (28) yang sedang duduk termangu di warung kopi. Kepala Soni sedang pusing karena sudah setengah hari ia belum mendapat hasil pulungan besi.
Soni tak menghiraukan anak-anak itu. Ia sudah biasa melihat Ilham dan kawan-kawannya bermain bola di sekitar lokasi proyek.
Lokasi itu terletak di belakang kompleks perumahan Bukit Cimanggu City dan hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari Kantor Polsek Tanah Sareal.
Mendapati lokasi proyek kosong ditinggalkan para pekerja yang sedang beristirahat, anak-anak itu senang bukan kepalang. Segera saja mereka melepas sandal, celana, dan baju lalu nyemplung ke dalam kubangan.
Awalnya semua berjalan biasa, mereka bermain air di pinggir kubangan yang dangkal. Ilham nyemplung belakangan.
Lalu ia melihat sesuatu kemudian terjadi. Kawannya hilang satu per satu. Karena panik, ia mencoba beranjak dari kubangan itu dengan meraih pelepah daun pisang.
Namun, naas bagi Ilham, pelepah daun pisang yang masih kecil itu putus tak kuat menahan tubuhnya yang gempal.
Burhan, satu-satunya anak yang belum ikutan nyemplung, panik tak karuan. Bukannya menolong, ia berlari pulang dengan terbirit, meninggalkan enam kawannya yang tengah berjuang hidup mati di kubangan lumpur.
Saat berlari pulang, Burhan melewati Soni yang masih ngopi di warung yang sama.
Soni yang penasaran melihat wajah pucat dan gelagat aneh Burhan bertanya, ”Tong, temen-temen lu di mana?”
Burhan diam saja, tak menjawab pertanyaannya. Soni yang jengkel lalu membentak Burhan, ”Ditanyain diem aja, sih, jawab yang bener dong.”
Burhan yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar lalu menjawabnya dengan terbata, ”Tenggelam, Om.”
Soni masih belum mengerti maksud jawaban singkat Burhan. Namun, rasa khawatir mendorongnya berlari sekencang mungkin ke lokasi proyek.
Di sana, ia melihat ada sepasang tangan mengambang di permukaan. Tanpa pikir panjang, ia nyemplung ke kubangan dan berusaha menarik sepasang tangan itu dan mengangkatnya ke tepian.
Sepasang tangan itu adalah Ilham. Napasnya putus-putus dan mulutnya memuncratkan air.
Melihat Ilham tak sadarkan diri, Soni segera membuat napas buatan dan memompa air keluar dari tubuh Ilham. Anak itu ternyata masih hidup dan terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya.
Ketika itu pula pandangan mata Soni terarah pada tumpukan sandal dan pakaian kawan-kawan Ilham. Sambil berteriak minta tolong, ia kembali nyemplung ke dalam kubangan mencari lima anak lainnya.
Tak lama datanglah warga lain turut membantu Soni. Kelima anak lain sudah berada di dasar kubangan dan lemas tak sadarkan diri.
Kubangan air berlumpur sedalam kira-kira 150 sentimeter (cm) itu menyulitkan warga melakukan evakuasi dengan cepat. Namun, dengan ujung kaki dan tongkat kayu, akhirnya mereka berhasil mengangkat kelima anak yang tersisa.
Karena terlalu banyak menelan air berlumpur, kelima anak itu tak bisa terselamatkan. Soni menangis histeris saat melihat kelima anak yang terhitung masih saudaranya itu terbujur kaku dan beku di pinggir kubangan berlumpur itu.
Kelima anak yang tewas itu adalah Muhamad Rafi (7), Imamsyah (8), Muhamad Dafin (8), Rafli Sudrajad (9), dan Muhamad Faisal (11). Kelimanya dikuburkan hari itu juga tanpa melalui proses otopsi.
Ketua RT 004 RW 006 Sukaresmi Enang Jambul mengatakan, keluarga kelima anak itu tak mengizinkan proses otopsi dan menganggap kejadian tersebut sebagai musibah. ”Kemarin, pengembang proyek perumahan sudah bertemu dengan keluarga korban meninggal untuk menyerahkan santunan Rp 10 juta,” kata Enang, Jumat (19/10/2018).
Adapun Soni yang merupakan orang pertama yang datang ke lokasi kejadian menyatakan masih terpukul dengan kejadian tersebut. ”Kalau saya bisa lebih cepat mengangkat mereka, mungkin anak-anak itu sekarang masih hidup,” ujar Soni dengan mata berkaca-kaca.
Proses hukum
Kubangan air tersebut sebenarnya merupakan galian yang digunakan untuk menampung air bahan adukan semen. Namun, hujan yang turun pada hari sebelumnya membuat kubangan selebar lebih kurang 2 meter itu berubah menjadi kubangan air yang dalamnya 150 cm hingga 200 cm.
Kepala Polsek Tanah Sareal Komisaris Muhamad Prayogi mengatakan, proses hukum atas peristiwa naas yang menewaskan lima anak itu akan terus dilanjutkan. ”Saat ini kami sedang memeriksa tiga pekerja proyek yang saat itu berada di lokasi kejadian,” kata Yogi.
Hari ini, lokasi proyek tampak lengang dan tidak ada pekerja di sekitar kubangan itu. Lokasi kejadian dibiarkan terbuka tanpa penjagaan sama sekali. Hanya ada garis polisi yang dipasang melingkari kubangan tempat lima bocah itu tewas.
Namun, saat Kompas hendak mendatangi lokasi kejadian itu untuk yang kedua kali, jalan masuk telah ditutup dengan sebuah bambu kering. Meskipun begitu, masih ada sejumlah warga yang lalu lalang di dalam lokasi proyek.
Lokasi proyek dan desa sekitar tak dibatasi pagar secara menyeluruh. Hal itu menyebabkan warga dan anak-anak bisa bebas memasuki area proyek tersebut.
Adapun pihak pengembang perumahan Bukit Cimanggu City menolak memberikan komentar saat dimintai keterangan. Sampai artikel ini ditulis, pihak pengembang belum mengeluarkan pernyataan apa pun terkait peristiwa tersebut. (PANDU WIYOGA)