Bekasi dan Jakarta Sepakat Berunding
Polemik pengelolaan sampah Ibu Kota untuk sementara mereda. Hal ini ditandai dengan kesepakatan pembahasan perjanjian kerja sama pengelolaan sampah antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi.
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi sepakat berunding terkait pengelolaan sampah. Kesepakatan dicapai setelah Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bertemu di Balai Kota Jakarta, Senin (22/10/2018). Perundingan yang dimaksud membahas tentang perjanjian kerja sama baru.
”Pemerintah Kota Bekasi mengajukan pertemuan Kamis, 25 Oktober. Sampai saat ini tidak ada perubahan,” kata Anies seusai pertemuan kemarin.
Pertemuan Anies dan Rahmat membicarakan masalah sampah dan dana kemitraan dari DKI Jakarta ke Pemkot Bekasi. Pertemuan berlangsung dari sekitar pukul 11.00 hingga pukul 13.00. Baik Anies maupun Rahmat didampingi oleh pejabat pemerintah masing-masing.
Rahmat menjelaskan bahwa pihaknya menginginkan partisipasi yang wajar dari DKI Jakarta. ”Sebenarnya yang kami minta itu adalah partisipasi karena kita bersama-sama dalam pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang,” kata Rahmat.
Menurut Rahmat, dana hibah yang diajukan ke DKI Jakarta akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan, prasarana pendidikan, kesehatan, serta sarana dan prasarana lain. Sebagian wilayah Bekasi masih tertinggal sarana dan prasarana yang dimaksud.
Perundingan antara Pemkot Bekasi dan DKI Jakarta fokus pada perjanjian kerja sama (PKS) tentang pemetaan pengelolaan sampah di TPST Bantargebang dan terkait bantuan keuangan.
Tim perundingan
Premi Lasari, Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemprov DKI Jakarta, menjelaskan, perundingan ini melibatkan tim koordinasi kerja daerah dan tim koordinasi bantuan keuangan. Terkait pembuangan sampah di TPST Bantargebang, DKI Jakarta terikat pada PKS dengan Pemkot Bekasi yang dikelola tim koordinasi kerja daerah.
Di dalam PKS itu, salah satu kewajiban Pemprov DKI adalah memberikan bantuan wajib akibat PTSP Bantargebang. ”Besarannya dihitung berdasarkan tonase sampah yang datanya didapat dari Dinas Lingkungan Hidup,” kata Premi.
Bantuan keuangan itu, lanjut Premi, merupakan satu-satunya mekanisme kerja sama yang bisa diberikan kepada Bekasi. ”Karena tidak ada mekanisme pengelolaan keuangan antardaerah selain bantuan keuangan. Kami menyebut itu sebagai bantuan keuangan yang bersifat wajib yang diberikan Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi,” kata Premi.
Seperti yang diberitakan pada 2018 ini bantuan keuangan yang dibayarkan Pemprov DKI ke Pemkot Bekasi Rp 194 miliar. Pada 2019, DKI Jakarta memiliki kewajiban membayar Rp 141 miliar. ”Kami ajukan itu sesuai PKS yang berlaku,” ujar Premi.
Pada 25 Mei 2018, Penjabat Sementara Wali Kota Bekasi mengajukan dana kemitraan untuk sejumlah proyek infrastruktur sebesar Rp 1 triliun. Namun, karena proposal tidak lengkap, DKI meminta Pemkot Bekasi menyempurnakan dengan dokumen perencanaan dan dokumen teknis.
Tergantung kemampuan
Proposal lengkap itu baru muncul 15 Oktober saat DKI sudah mulai membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019. Pada proposal baru itu, besaran dana kemitraan naik menjadi Rp 2 triliun. ”Kemitraan bukan hal wajib, tetapi kami menyadari DKI itu daerah mitra sehingga kami bahas,” kata Premi.
Adapun besaran dana kemitraan disesuaikan dengan kemampuan keuangan DKI Jakarta. Proposal dari Pemkot Bekasi akan dinilai, dibahas di tim koordinasi bantuan keuangan, diajukan ke tim anggaran pemerintah daerah, dan dibahas dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI.
Belajar dari polemik ini, Pemprov DKI mencari terobosan pengelolaan sampah. Sebab, kapasitas daya tampung pengolahan sampah di Bantargebang semakin lama semakin terbatas. Di sisi lain, sampah dari Jakarta ke Bantargebang sekitar 7.000 ton sampah per hari yang diangkut dengan 1.200-1.300 truk.
”Hasil studi kami, Bantargebang hanya bisa bertahan sampai 2021 atau 2022 karena kandungan sampahnya sudah mendekati 39 juta ton, ketinggian di atas 30 meter. Jadi, tidak ada pilihan, Jakarta harus punya pengelolaan sampah yang mandiri di dalam kota,” kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Isnawa Adji.
Kepentingan warga
Polemik pengelolaan sampah diharapkan tetap mempertimbangkan kepentingan warga. Puput TD Putra, Direktur Eksekutif Koalisi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan, tempat pembuangan akhir di kawasan Bantargebang telah memunculkan dampak lingkungan yang tidak sedikit bagi warga sekitar.
”Lingkungan yang terdampak di Bekasi, kan, bukan cuma oleh TPST Bantargebang, tetapi (juga) oleh TPA Sumur Batu milik (Pemkot) Bekasi dan industri di sekitar,” kata Puput.
Posisi TPA Sumur Batu yang bersebelahan dengan TPST Bantargebang relatif lebih tidak terjaga standar operasinya. Intervensi apa pun dari Pemprov DKI di TPST Bantargebang, kata Puput, cenderung tidak akan berdampak banyak bagi peningkatan kualitas hidup warga sekitar menyusul model operasi TPA Sumur Batu yang hanya menerima sampah dari wilayah Bekasi dan tidak memiliki kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta.
Puput mengingatkan, sesuai Pasal 44 Undang-Undang Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang. (HLN/E12/INK)