Program kartu sehat yang berjalan sejak 2017 menjadi beban anggaran. Warga cenderung langsung mengakses rumah sakit rujukan pemerintah tanpa melalui layanan primer lebih dahulu. Kini program ini dievaluasi.
BEKASI, KOMPAS Layanan kesehatan gratis dengan kartu sehat berbasis nomor induk kependudukan di Kota Bekasi tak lagi dipakai di semua rumah sakit rujukan pemerintah. Warga harus melalui tahap rujukan berjenjang dari pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas.
“Dengan perubahan itu, kami ingin meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan kartu sehat agar tepat sasaran,” kata Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono di Bekasi, Selasa (6/11/2018).
Ia menambahkan, penggunaan Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK) kerap tidak tepat sasaran. Warga cenderung tidak memanfaatkan layanan di puskesmas, tetapi langsung ke rumah sakit saat sakit berat atau ringan.
Meski demikian, Tri menjamin warga tetap bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis, mulai dari puskesmas hingga di 41 rumah sakit yang bekerja sama dengan pemerintah.
Seluruh biaya ditanggung anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sekitar Rp 250-300 miliar pada 2018. Apalagi, program KS-NIK salah satu janji politik dari wali kota dan wakil wali kota terpilih. Adapun perubahan layanan ini berlaku per Kamis (1/11/2018) lalu.
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Islam 45 Adi Susila, mengatakan, kebijakan itu memang layak dievaluasi. Sebab, program ini berpotensi memberatkan APBD. “Evaluasi juga menandakan bahwa kebijakan itu tidak dianalisis secara mendalam,” kata dia.
Program KS-NIK pertama kali diluncurkan Januari 2017. Saat itu, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menerbitkan 26.708 kartu sehat untuk 26.708 keluarga tidak mampu dengan penghasilan setara atau di bawah upah minimum kota (UMK) Bekasi, Rp 3,5 juta per bulan (Kompas, 17/1/2017).
Kecewa
Dengan program ini, warga dapat layanan rumah sakit di Kota Bekasi, baik negeri maupun swasta. Mereka juga tidak perlu membayar iuran sebagaimana pada program jaminan kesehatan nasional kartu Indonesia sehat (JKN KIS) karena seluruh biaya ditanggung APBD.
Dalam perkembangannya, kartu sehat bisa dimiliki seluruh warga. Lathifah (51), warga Kelurahan Medan Satria, Kecamatan Medan Satria yang berpenghasilan di atas Rp 5 juta per bulan misalnya. September lalu, ia membawa suaminya ke Rumah Sakit Citra Harapan untuk operasi hernia. Bermodal KK, kartu sehat, dan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) suaminya. dia tidak membayar apa pun.
Bambang Susanto (38), warga Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, mendapatkan manfaat yang sama. “Pada akhir 2017, saya sakit gigi lalu dicabut tanpa membayar di Rumah Sakit Bella,” ujar dia.
Namun Bambang tidak lagi mendapat layanan serupa pada September lalu. “Saya kecewa. Kalau harus ke puskesmas dahulu, artinya saya harus mengantre dua kali,” kata Bambang.
Di Puskesmas Marga Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan, waktu tunggu panggilan dokter bisa dua jam, dengan daya tampung sekitar 50 orang. Waktu antrean ini belum termasuk antrean pengambilan obat.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 terdapat 39 puskesmas dan delapan puskesmas pembantu di 12 kecamatan. Sementara di Kota Bekasi terdapat 56 kelurahan.