Ciliwung Tagih Komitmen Kita
Sederet aturan tersedia. Fasilitas pembuangan dan pengolahan sampah ada meski belum sempurna. Kini, tinggal menagih komitmen setiap individu, pejabat, ataupun warga untuk bertanggung jawab atas sampahnya sendiri.
Pertengahan Oktober lalu, Wali Kota Bogor Bima Arya resmi membentuk Satuan Tugas Naturalisasi Sungai Ciliwung Kota Bogor. Tugas satuan ini mendukung dan membantu menjaga Ciliwung tetap bersih melalui sosialisasi, penegakan hukum, pembersihan sungai, serta pengawasan.
”Mendukung dan membantu”, bukan ”bertanggung jawab”, mungkin karena urusan aliran air menjadi tanggung jawab utama Kementerian PUPR dengan jajaran instansi di bawahnya.
Namun, Bima menargetkan, dalam dua bulan ke depan, Ciliwung yang melintasi kotanya bebas dari tumpukan sampah. Baik di badan, lereng, maupun di bibir sungainya. Panjang sungai yang melintas di Kota Bogor 15 kilometer, melewati 13 kelurahan di empat kecamatan.
Cuaca diyakini membantu pencapaian target. Saat ini sudah musim hujan. Paling tidak sampah mudah tersapu hanyut akibat volume air yang bertambah dan arus kuat. ”Iya, kami dapat ’bantuan’ hujan. Maaf, ya, Jakarta,” kata Rena da Frina, Lurah Sempur, yang wilayah kelurahannya dibelah sungai itu.
Rena mengatakan bukan pihaknya tidak berupaya mengangkat belasan tumpukan sampah dari Ciliwung. Jauh sebelum dibentuk satgas, dibentuk Bima, kelurahannya bersama warga memiliki Program Bekam (Bersih-bersih Kampung), setiap Rabu.
Sempur berada di ring I karena bertetangga dengan Istana Bogor, tempat tinggal Presiden RI. Kelurahan ini kerap menjadi sasaran kegiatan program bersih-bersih dan lingkungan hidup dari sejumlah lembaga.
Realitasnya memang tidak mudah mengangkut sampah yang sudah menumpuk sedemikian lama, mungkin tahunan. Apalagi alat berat pengeruk, juga truk sampah, tidak dapat mencapai tepi sungai akibat padat dan rapatnya permukiman dengan gang-gang sempit. Di satu RW di Sempur, gerobak sampah saja susah melintas. Kondisi seperti ini, terjadi juga di kelurahan lain.
Sungai telanjur dipagar tembok rumah warga atau kompleks permukiman dan usaha komersial. Yang paling menyedihkan, kesadaran warga untuk tidak membuang sampah di sungai sangat minim. Bahkan, pada mereka yang terikat hidupnya di sungai, seperti pemungut batu kali dan pemancing.
Seorang pencari batu kali bahan batu split untuk beton, yang ditemui di Katulampa, asyik memisahkan batu dari sampah. Ia santai saja membuang sampah plastiknya kembali ke sungai. Dua pemancing di seberang sungai tak lupa membuang kantong plastik bekas membawa umpan ke sungai.
Ada juga perumahan yang bantar sungainya dijadikan taman terbuka lengkap dengan ayunan dan perosotan bagi anak-anak. Namun, tumpukan sampah turut ”melengkapi” taman itu.
Di Kelurahan Tajur, ada lapangan di bantar sungai untuk warga lomba burung merpati. Di tempat yang sama ada tumpukan sampahnya menggunung sampai menyentuh dasar sungai.
Bahkan, ada permukiman yang membuat pintu pada pagar permukimannya, untuk jalan menuju bantar sungai, tempat mereka membuang sampah. Ada tiga tumpukan sampah yang tersamar di balik semak-semak. Baunya luar biasa. Popok bekas mendominasi sampah itu.
Di Kelurahan Baranangsiang, ada sebuah lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Bagian belakang kompleks asrama siswanya berbatasan langsung dengan Ciliwung. Sungai pun sepertinya menjadi bak sampah mereka.
Antara fatwa dan fakta
Padahal, berbagai ajaran agama ataupun di pendidikan-pendidikan formal, menjaga kebersihan diajarkan menjadi perilaku semua orang. Een Irawan Putra, Sekretaris Satgas Naturalisasi Sungai Ciliwung Kota Bogor, mengutip fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengolahan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan. Fatwa itu antara lain menyatakan haram membuang sampah sembarangan.
Een dengan rekannya di Komunitas Peduli Ciliwung dan Yayasan Rekam Nusantara tengah memetakan permasalahan sampah terkait rencana aksi nyata membebaskan Ciliwung dari sampah dengan program naturalisasi Ciliwung.
Dalam diskusi santai tentang program itu di kantor Rekam Nusantara, Senin (5/11/2018) sore, ia mengungkapkan, ada 1972 rumah atau bangunan di Kelurahan Bogor Timur yang sampah/limbahnya dibuang ke Ciliwung, 1.491 bangunan di Bogor Tengah, 1.491 bangunan di Bogor Utara, dan 306 bangunan di Tanah Sareal.
Een belum mendata kali atau selokan yang bermuara ke Ciliwung, yang juga membawa sampah. Seperti diungkap Lurah Babakan Pasar Rokib Alhudry, ia yang wilayahnya ada Pasar Bogor tidak mampu mengawasi orang-orang buang sampah ke saluran air atau selokan, yang pada akhirnya semuanya ke Ciliwung. Untuk saluran tinja ke sungai masih banyak, apalagi dari wilayah Pulo Geulis. Mereka tak punya sanitasi komunal karena tidak ada lahan lagi.
”Namun untuk sampah warga, tidak ada tumpukan sampah di sungai di kelurahan kami. Silakan dilihat. Kami menerapkan pemilahan sampah dan memiliki bank sampah walaupun belum semua RW atau RT terlayani,” kata Rokib.
Yang pasti, kata Rokib, ada arisan kebersihan seminggu sekali di tingkat RW dan kelurahan. Jika arisan jatuh pas hari libur, bisa sampai ratusan warga ikut memungut sampah di Ciliwung tanpa disuruh. ”Sampah Ciliwung, kan, datang dari hulunya,” katanya.
Target 2025
Untuk membersihkan Ciliwung sepanjang 15 kilometer, sekali lagi, memang bukan pekara gampang. Apalagi, sebelum Bendung Katulampa di Kota Bogor, panjang sungai ini ke ujung hulunya di Cisarua masih panjang, dengan banyak anak sungai. Pemerintah Kabupaten Bogor masih kesulitan dalam mengatasi masalah sampah.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Atis Tardiana mengatakan, dengan penduduk 5,7 jiwa, timbunan sampah yang dihasilkan per hari mencapai 2.650 ton.
Sampah yang mampu diangkut untuk ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga hanya 600 ton per hari atau 8 persen. Sisanya, yang 92 persen per hari, terus menumpuk dan menyebar di mana-mana tanpa terawasi.
Berkejaran dengan tumbukan sampah ini, dinasnya menganggarkan Rp 8 miliar pada tahun 2018 ini untuk kegiatan sosialisasi kesadaran mengolah sampah dari tempat produksinya, yaitu rumah tangga.
”Untuk di kawasan hulu, seperti di Cisarua dan Megamendung, kami membentuk desa-desa wisata dan yang mendapat penghargaan adalah yang menerapkan pemilahan sampah dan ada bank sampah. Kami terus berupaya karena target nasionalnya adalah pengurangan sampai 70 persen pada 2025.
Saat ini, truk pengangkut sampah kami ada 209 unit dengan 20-30 unit dalam kondisi tidak laik jalan. Untuk tahun 2019, akan ada tambahan truk baru 60 unit,” katanya.
Kota Bogor membebaskan Ciliwung di wilayahnya dari sampah makin tidak mudah, tetapi bukan hal tidak mungkin. Een, bersama Komunitas Peduli Ciliwung, sudah bergerak memulung sampah Ciliwung sejak 10 tahun lalu. Ia optimistis Sungai Ciliwung di Kota Bogor bisa bersih dari sampah.
”Kebijakan pemerintah harus terus dikawal. Sebab, kami belum menemukan pejabat di bawah-bawahnya yang benar-benar greget dengan masalah sampah Ciliwung dan lingkungan. Yang juga bikin saya heran, di Kota Bogor ini pejabat tingkat pusat sampai daerah tinggal atau berkantor di sini. Kok, susah banget bersinergi menyelamatkan Ciliwung,” katanya.
Dukungan
Komandan Kodim 061/Surya Kancana Kolonel Inf Muhamad Hasan sudah menelusuri sungai itu bersama Bima Arya. Ia menjanjikan akan membentuk tim untuk membuat dan memantau jaring sampah di beberapa lokasi, khususnya yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor di Katulampa.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor Elia Buntang mengatakan, memecahkan masalah sampah itu mudah, yaitu mulai memilah sampah dari hulunya, yaitu produser sampah dalam hal ini rumah tangga dan tempat usaha masing-masing. ”Jika semua masyarakat melakukan, tinggal 30 persen sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah,” katanya.
Ernan Rustiadi dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, setiap individu memang harus bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya.
Kesadaran ini belum ada, termasuk dari pejabat dan instansi pembuat undang-undang sekaligus mengampanyekannya.
Nah, keteladanan setiap individulah yang kini dibutuhkan untuk muncul. Wujudkan Ciliwung bersih, kota yang sehat.