Pembangunan Tanggul Pantai Utara Jakarta Dilanjutkan
Oleh
Helena F Nababan dan Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memastikan pembangunan tanggul pengaman pantai utara Jakarta tahun 2019. Terkait rencana ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkewajiban membebaskan lahan untuk kolam retensi yang belum beres.
Kementerian Pekerjaan Umum sudah menuntaskan pembangunan tanggul pantai sepanjang 4,5 kilometer yang berada di Muarabaru 2,3 km dan di Kalibaru 2,2 km. ”Kami mau meneruskan dan kami sudah mengusulkan pendanaan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019,” kata Sudarto, Kepala Satuan Kerja Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam (Ditjen SDA), Kementerian PUPR, Kamis (8/11/2018).
Tanggul pengaman pantai merupakan bagian dari tanggul fase A proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Adapun tanggul yang dimaksud, menurut rencana, dibangun sepanjang 120 km, mulai dari Bekasi, Jawa Barat, DKI Jakarta, hingga Tangerang, Banten. Keberadaan tanggul dianggap penting untuk mengantisipasi laju penurunan muka tanah pesisir utata dan penahan banjir rob.
Dari seluruh panjang tanggul, Kementerian PUPR membangun 20 km, Pemprov DKI Jakarta 8 km, dan sisanya dibangun berbagai pihak, baik swasta atau perusahaan negara maupun perusahaan daerah yang ada di kawasan tepi pantai.
Pihak Ditjen SDA mengalokasikan Rp 200 miliar untuk membangun kelanjutan tanggul dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tanggul di wilayah Tangerang. Dari dana itu, pembangunan tanggul dikerjakan sepanjang 830 meter (m) di Kamal Muara, 500 m di antaranya masuk wilayah Tangerang. ”Kalau pada 2019 ada penyusunan amdal, pembangunan bisa dilakukan pada tahun 2020,” ujar Sudarto.
Hal lain yang akan dikerjakan Ditjen SDA adalah pembangunan kolam retensi di ujung Cakung Drain. Namun, kolam penampung 5 hektar (ha) itu masih menunggu pembebasan lahan oleh DKI Jakarta.
Teguh Hendarwan, Kepala Dinas SDA DKI Jakarta, menjelaskan, lembaganya mengusulkan anggaran Rp 850 miliar untuk pembebasan lahan. Anggaran itu dipakai untuk membebaskan lahan di bantaran kali, waduk, situ, juga polder. Untuk lahan kolam retensi, pembebasan belum bisa dilakukan karena Dinas SDA masih menunggu ketersediaan rumah susun sederhana sewa sebagai tempat relokasi.
Kolam retensi
Warga yang tinggal di RT 012 RW 004 Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, menanti kepastian pembongkaran rumah mereka. Wacana pembongkaran bergulir karena area tempat tinggal mereka akan dijadikan kolam retensi atau polder.
Kolam retensi itu berfungsi untuk ”tempat parkir” sementara air buangan dari drainase di sekitar Cilincing. Dengan demikian, air buangan dari drainase tidak langsung ke laut. Rencana proyek ini terintegrasi dalam NCICD, yang antara lain juga terdiri atas pembangunan tanggul pesisir.
”Belum ada informasi dari pemerintah, tetapi memang sudah beredar kabar akan ada penggusuran,” ucap warga yang tinggal di rumah panggung di atas laut, Endang Nawangsih (60).
Tahun 2017, ia mengikuti dua kali rapat yang juga membahas pembebasan lahan di area itu. Saat itu, Endang mendengar, pembebasan untuk menyediakan lahan guna membuat semacam danau. Namun, entah mengapa, dalam rapat ketiga, pembebasan dinyatakan batal. Ia lega masih bisa tinggal di sana. ”Tinggal di sini tidak perlu bayar uang kontrak,” ujarnya.
Warga lainnya, Anisa (18), juga belum mendapat informasi resmi soal pembongkaran rumah-rumah di sana. ”Pak RT kalau ke sini menarik uang sampah juga tidak pernah bicara soal itu, tetapi memang sudah mendengar akan ada penggusuran,” katanya.
Anisa mengontrak satu petak hunian seluas 3 meter x 4 meter, tinggal bersama suami dan bayinya. Ia tinggal di sana baru tiga bulan, dengan biaya sewa per bulan Rp 350.000. Jika benar bangunan-bangunan di area itu akan dibongkar, keluarganya bakal menerima keputusan itu mengingat mereka hanya mengontrak.
Endang siap jika rumahnya dibongkar mengingat keluarganya tinggal di atas laut yang bukan milik mereka. Namun, ia menegaskan, warga menolak solusi pemindahan ke rumah susun sederhana sewa. ”Kami tidak mau mengontrak,” ujarnya.
Endang lebih senang jika pemerintah memberi ganti rugi, dengan pertimbangan bangunan semipermanen warga berdiri dengan biaya sendiri. Setelah mendapat uang, warga mempunyai lebih banyak alternatif, antara lain mencari tempat tinggal baru atau pulang ke kampung.
Menurut rencana, kolam retensi dibangun pada lahan 5 ha, mencakup 1,9 ha daratan yang masuk area Krematorium Cilincing serta 3,1 ha laut. Di area laut itulah terdapat rumah warga yang berdiri di atas tanah timbul dan di atas laut sehingga butuh pembebasan lahan yang ditempati lebih dari 100 rumah.