JAKARTA, KOMPAS - Layanan primer di pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas belum memuaskan warga. Lamanya antrean menjadi keluhan sebagian warga yang mengantre layanan di sana. Hal ini terjadi karena tenaga medis yang melayani warga minim.
Selain lama, ruang tunggu untuk warga pun terbatas. Sebagian dari mereka yang antre di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (10/11/2018), terpaksa harus berdiri di ruang tunggu.
Sebagian duduk di anak tangga puskesmas. Sari (59), salah satu pasien pengguna Kartu Indonesia Sehat (KIS), dua jam lamanya antre belum mendapat panggilan dari petugas.
Menurut Sari, waktu tunggu yang lama mengganggu aktivitasnya. Warga yang datang dalam kondisi kurang sehat seharusnya dilayani dengan cepat dan efektif agar mereka dapat kembali beristirahat di rumah atau dirujuk ke tempat lain.
”Saya juga sebenarnya tidak sanggup menunggu lama-lama. Namun, karena ini hari libur juga, pasti warga banyak yang berobat, sedangkan dokternya cuma sedikit,” tutur Sari.
Di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, pemandangan serupa terjadi. Sebagian warga yang antre terpaksa duduk di tangga karena tidak ada kursi kosong.
Meski begitu, warga tetap menunggu untuk mendapat layanan di puskesmas sebelum dirujuk ke rumah sakit. Skema inilah yang harus dijalani warga sebagai konsekuensi sistem rujukan berjenjang.
Di Puskesmas Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagian warga rela datang ke tempat itu pukul 05.00 demi mendapat antrean lebih awal. Sayangnya, jumlah pengguna JKN yang mengharap layanan di tempat itu tidak sebanding dengan jumlah tenaga medis yang ada.
Akibatnya, pasien rata-rata menunggu tiga jam untuk dilayani dokter. Setelah itu, mengantre lagi untuk mengambil obat sebagaimana dialami Beben, warga penyandang disabilitas. Ia datang ke puskesmas menggunakan kursi roda dengan adiknya.
Pada meja layanan antrean di ruang depan, tertulis lansia dan penyandang disabilitas memiliki antrean khusus yang dibedakan dengan pasien umum. Kenyataannya, hal ini tidak bisa dinikmati Beben.
Dianggap rumit
Sebagian warga menganggap sistem rujukan berjenjang ini rumit sehingga mereka enggan menggunakan layanan tersebut, seperti yang dilakukan Chairul Anwar (67). Saat ditemui di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, ia mengaku telah menjadi peserta sejak 2014.
Namun, baru sekali ia menggunakan pelayanan kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu.
Selama ini, ia berobat dengan mengandalkan asuransi yang disediakan perusahaan tempatnya bekerja. Rumitnya sistem rujukan untuk berobat membuat ia enggan memanfaatkan program JKN-KIS. ”Sebenarnya program ini baik, tetapi sistem dan pelaksanaan harus dibenahi,” kata Sutiyo.
Karena alasan yang mirip, Fatimah (45), warga Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, belum berminat mendaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia lebih memilih berobat sebagai pasien umum karena merasa pelayanan yang ia dapat lebih cepat. (E08/E07/E21/E12)