Pemahaman Kolektif dan Edukasi Diperlukan
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional telah memasuki tahun keempat. Namun, prosedur yang rumit menjadi penghambat bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan yang dijanjikan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menerapkan sistem rujukan berjenjang bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sistem ini dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan medis peserta. Rujukan dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Peserta JKN akan dirujuk apabila membutuhkan tindakan medis lanjutan. Rujukan akan diberikan ke fasilitas kesehatan tingkat kedua. Sistem rujukan ini juga berlaku jika fasilitas atau pelayanan medis yang dibutuhkan tidak tersedia. Prosedur yang panjang dinilai menyulitkan pelaksanaan program JKN, baik bagi pihak rumah sakit maupun pasien.
”Masih banyak pasien yang belum paham benar soal JKN. Kami pun harus bisa menjelaskan kepada pasien jika ada pemahaman mereka yang salah,” kata Penanggung Jawab Instalasi JKN Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Goretty Lusya Angelita, Rabu (7/11/2018).
Ia mengatakan, ada beragam persoalan yang harus dihadapi karena minimnya pemahaman masyarakat tentang regulasi JKN secara menyeluruh, misalnya setiap peserta JKN tidak dapat meminta tindakan medis khusus. Hal itu karena segala bentuk pengobatan ataupun tindakan medis peserta JKN harus sesuai dengan saran dokter.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, peserta JKN juga hanya dapat menggunakan instalasi gawat darurat (IGD) dalam kondisi darurat. Namun, peraturan itu masih belum dipahami secara kolektif oleh masyarakat. Akibatnya, menurut Goretty, kesalahpahaman antara pihak rumah sakit dan pasien kerap terjadi.
”Kami harus menyediakan waktu dan tenaga tambahan untuk mengedukasi masyarakat. Ada juga pasien yang tidak senang karena JKN-nya tidak bisa digunakan untuk berobat, misalnya kasus tidak sesuai kriteria darurat yang ditetapkan BPJS Kesehatan. Ada pula yang masuk ke poliklinik tanpa membawa rujukan dari rumah sakit kelas C, sedangkan kami rumah sakit kelas B,” tuturnya.
Goretty berharap, BPJS dapat berperan aktif mengedukasi masyarakat tentang program JKN agar pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan lebih efektif. Selain itu, pemahaman yang holistik juga akan memudahkan peserta JKN untuk berobat.
Hal serupa pernah dialami seorang peserta JKN, Chairul Anwar (67). Klaim JKN miliknya sempat ditolak sebuah rumah sakit saat ia membawa anaknya berobat ke IGD beberapa tahun lalu. Setelah berdebat alot, klaim JKN milik Chairul akhirnya diterima pihak rumah sakit.
”Kata mereka, sakitnya anak saya bisa ditangani oleh puskesmas. Tidak perlu ke IGD rumah sakit. Tapi, apa saat itu saya bisa ke puskesmas? Ya tidak karena puskesmas sudah tutup di malam hari,” ujar Chairul.
Program JKN resmi beroperasi pada 1 Januari 2014. Mengutip laman resmi BPJS, ada 205.071.003 peserta JKN-KIS per 1 November 2018. Pada 1 November 2019, pemerintah menargetkan peserta JKN-KIS sebesar 95 persen dari 265 juta penduduk Indonesia.
Tantangan lain
Tahun ini, defisit keuangan BPJS Kesehatan diperkirakan Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun per bulan. Angka ini setara dengan Rp 9,6 triliun sampai Rp 12 triliun setahun. Secara normatif, ada tiga hal yang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan, yaitu penyesuaian iuran peserta, penyesuaian manfaat, dan bantuan dana pemerintah (Kompas, 7/8/2018).
Pada 2015, pemerintah memberikan suntikan dana, yaitu penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun ke BPJS Kesehatan. Pada 2016 suntikan PMN sebesar Rp 6,8 triliun, sedangkan pada 2017 suntikan PMN yang diberikan kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 3,6 triliun (Kompas, 21/3/2018).
Keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS ke rumah sakit akan berpengaruh pada aliran uang atau cash flow untuk operasionalisasi rumah sakit. Hal itu juga akan memengaruhi kualitas layanan.
Ada tiga hal yang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan, yaitu penyesuaian iuran peserta, penyesuaian manfaat, dan bantuan dana pemerintah.
Ditemui secara terpisah, Direktur Utama PT Pertamina Bina Medika Dany Amrul Ichdan mengatakan, setiap rumah sakit harus memiliki skala ekonomis yang baik. Hal itu untuk menyeimbangkan kualitas pelayanan dengan biaya pengobatan. Selain itu, efisiensi obat dan alat kesehatan juga dinilai penting untuk nilai tambah bagi rumah sakit.
”Bila rumah sakit tidak memiliki skala ekonomis yang baik, kita tidak akan bisa menyesuaikan dengan tarif pengobatan yang ditetapkan oleh BPJS,” ucap Dany, Kamis (8/11/2018).
”Masalah pelaksanaan JKN itu muncul karena inkonsistensi. Ada pula bias kebijakan. Agar program ini lancar, semua pihak harus sama-sama mencari solusi. Tentunya dengan dukungan para pembuat kebijakan,” kata Dany. (SEKAR GANDHAWANGI)