JAKARTA, KOMPAS - Sebagian warga menganggap layanan pesertaJaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbelit. Lamanya antrean dan ketersediaan obat kadang menjadi alasan mereka enggan menggunakan kartu peserta program itu. Salah satunya M Reza (32), karyawan swasta di Tebet, Jakarta Selatan.
"Saya tidak mau repot. Badan juga sudah tidak nyaman," kata Reza, Kamis (8/11/2018). Anggapan layanan (administrasi) bagi pasien peserta JKN itu lama dan belum tentu memberi kepuasan bagi pasien peserta banyak ditemui di hampir semua rumah sakit di Indonesia. Bahwa menjadi pasien peserta JKN seperti tidak mendapatkan penghargaan ataupun perlakuan yang membuat pasien ataupun keluarga pasien terpuaskan.
Persoalan ini dipahami Ida Bagus Nyoman Banjar, Direktur RSUD Budhi Asih yang juga Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah DKI Jakarta. Sesuai Undang Undang, untuk peserta JKN yang adalah masyarakat tidak mampu, baik pemerintah pusat dengan APBN dan pemerintah daerah dengan APBD turut membayari premi JKN. Adapun besaran premi sudah ditentukan secara nasional. Peserta kategori itu disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Pada awal program di 2014, lanjut Banjar, dengan situasi masyarakat yang belum banyak yang menjadi peserta, premi yang terkumpul masih cukup. Seiring waktu dengan akses yang makin dibuka dan layanan menjadi luas, peserta menjadi demikian banyak, premi yang terkumpul tidak cukup.
Dewi Renbia, Kepala Seksi Perencanaan Pembiayaan Dinas Kesehatan DKI Jakarta menjelaskan untul DKI Jakarta, sekarang angka kepesertaan JKN di Jakarta sudah 98 persen dari total warga DKI. Dari catatan, 5 juta orang di antaranya merupakan peserta PBI. Sisanya adalah peserta di luar kategori PBI.
Sebagai bentuk kemudahan akses, di DKI Jakarta, peserta JKN dapat mengakses layanan kesehatan mulai tingkat pertama hingga lanjutan di 289 puskesmas kelurahan, 44 puskesmas kecamatan, 32 RSUD, dan 94 RS Swasta.
Banjar melanjutkan dengan akses kepada penyedia kesehatan yang demikian luas, tentu saja minat atau antusiame masyarakat untuk memanfaatkan kartu kepesertaan tinggi juga. Yaitu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dijamin negara.
Di RS Budhi Asih saja, lanjutnya, dari 27.000an pasien yang dilayani tiap bulan, 85-90 persennya adalah pasien JKN. Sementara RSUD Tarakan merupakan rumah sakit kelas A Pemprov DKI, yang saban bulan menerima 14.000an pasien. "Sekitar 90 persennya itu pasien peserta JKN," jelas Dian Ekowati, Direktur Utama RSUD Tarakan.
Dengan minat masyarakat yang besar, rupanya tidak diikuti dengan peningkatan premi PBI. Peningkatan jumlah pasien mengakibatkan jumlah klaim kepada BPJS.
Di Jakarta, jumlah klaim yang tentu saja besar tidak diikuti kemampuan BPJS Kesehatan membayar klaim. Sejak September 2017 sampai hari ini tunggakan pembayaran klaim berulang terjadi. "Di RS Budhi Asih, klaim BPJS untuk Agustus dan September sebesar Rp 23 miliar. Baru cair pekan ini Rp 11 miliar," jelas Banjar.
Akibatnya penyedia kesehatan di Jakarta mesti pintar-pintar mengatur stok obat, alat-alat kesehatan. "Ya kami bicarakan ke dokter-dokter, bahwa stok obat tinggal sekian sehingga dokter bisa meresepkan obat lain yang memiliki khasiat serupa. Atau untuk obat tertentu yang seharusnya diresepkan untuk 20 hari, cukup untuk 7 hari," jelas Dian.
Di Budhi Asih, dengan SDM medis paramedis dan pendukung lain yang sebanyak 1.100an orang, 75 persen non PNS. Sehingga dengan status sebagai BLUD, Budhi Asih menghadapi masalah double. "Pelayanan kesehatan terhadap pasien tidak boleh berhenti, sementara klaim BPJS seret di saat biaya operasional rumah sakit harus terus ada," jelas Banjar.
Itu sebabnya cerita pasien BPJS marah-marah karena obat yang tidak tersedia juga terjadi.
Triwisaksana, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta sangat mengkritik defisit anggaran yang dikelola BPJS Kesehatan. Ia mengkritik antara premi yang dikumpulkan tidak seimbang dengan klaim yang masuk.
"Kalau tunggakan pembayaran terus terjadi, kasihan masyarakat yang jadi korban. Operasional rumah sakit juga terganggu," katanya.
Untuk DKI, lanjut Triwisaksana, ada sejumlah opsi yang diusulkan bila masalah tunggakan terus terjadi. DPRD DKI mengusulkan supaya DKI mengelola sendiri saja layanan kesehatan masyarakat, kembali ke jaminan kesehatan daerah. Opsi lain adalah membicarakan kemungkinan pendanaan sementara dengan Bank DKI.
Sementara menurut penjelasan Dewi, opsi pembicaraan dengan Bank DKI itu saat ini tengah berproses dengan dimediasi oleh dinas. Termasuk didalamnya juga dibahas mekanisme pembayaran pinjaman.
Namun baik Banjar ataupun Dian sepakat, JKN pada dasarnya program bagus karena memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat. Cakupan layanannya bahkan luas tidak dibatasi jenis penyakit ataupun bentuk bentuk layanan perawatan. Di RSUD Tarakan yang memiliki layanan 23 spesialis dan 13 sub spesialis pun juga all out melayani pasien BPJS.
Namun, lanjut Banjar, saking luasnya cakupan saat ini bahkan klaim rumah sakit itu didominasi penyakit katastropis. Yaitu penyakit karena gaya hidup kelas menengah seperti hipertensi dan diabetes.
Persoalannya saat ini, respons positif rumah sakit belum diimbangi upaya pemerintah dan BPJS menjaga cashflow dari setiap rumah sakit atau puskesmas penyedia kesehatan. Seharusnya itu bisa yaitu dengan cara BPJS Kesehatan bisa memberikan kepastian pembayaran klaim BPJS.
Sementara Dian menyatakan selain tarif biaya yang seharusnya direvisi, juga sistem rujukan berjenjang yang ditetapkan. Ia menyontohkan pasien yang habis operasi jantung dan masih membutuhkan pengontrolan paska operasi.
Di sistem yang baru, pasien mesti kontrol kembali di dua - tiga dokter spesialis karena penyakitnya ternyata hanya diatur bisa kontrol ke satu dokter spesialis. "Ini harus direview lagi," ungkapnya.
Hal lain yang juga ia soroti dan harus juga direview adalah saat sistem rujukan berjenjang. Untuk bisa kontrol, pasien mesti memulai dari puskesmas untuk kemudian mendapatkan rujukan lanjutan. Itupun di RSUD tipe D dahulu.
Selain harus berputar-putar kembali mengurus rujukan dengan tubuh yang masih lemah, atau katakan ada keluarga yang mengurus, namun mendapat rujukan di rumah sakit yang tidak memiliki rekam medis pasien maka layanan bisa lebih lama lagi. Pasien menjadi dirugikan.
Dian mengusulkan, rujukan berjenjang itu dilihat kembali. "Yaitu supaya dokter dan rumah sakit bisa memberikan pelayanan yang optimal," jelasnya.