Pujian dan Kritik pada Program Kesehatan
Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional dianggap menguntungkan warga. Namun, ada juga yang mengkritiknya karena masih ada persoalan yang dihadapi di tempat penyedia layanan.
Ratusan pasien memenuhi puskesmas di Kecamatan Kebayoran Lama, Selasa (6/11/2018). Saking ramainya, ada pasien yang duduk di undakan karena tidak tersedia kursi kosong. Pada pukul 10.15, antrean sudah mencapai nomor 288.
Di tengah riuhnya antrean pasien, Yanti (30) sibuk menggendong anaknya yang sakit. Peluh di dahi tak diindahkannya. Ia lebih ingin anaknya tetap anteng sambil menunggu nomor antreannya dipanggil. ”Sudah sekitar satu jam saya menunggu,” katanya.
Yanti adalah salah satu pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang merasakan kemudahan mengakses pelayanan kesehatan. KIS adalah produk dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Yanti mengatakan memiliki KIS sejak dua tahun lalu, begitu pula dengan suaminya. Anak Yanti yang berusia 11 bulan pun sudah memiliki KIS.
Menurut Yanti, pelayanan kesehatan menjadi lebih terjangkau dengan program JKN-KIS. Bahkan, ia tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pengobatan anaknya. Semua gratis, termasuk obat yang diperoleh. ”Saya tidak perlu khawatir sedang ada pendapatan atau tidak. Kami sekeluarga bisa berobat kapan saja kalau sakit,” ujar Yanti.
Walaupun bermanfaat, sistem rujukan kepada peserta JKN-KIS tergolong rumit. Dua tahun lalu, Yanti harus berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain saat mengobati anak sulungnya. Fasilitas rumah sakit yang terbatas menjadi alasannya.
Anak sulungnya kini telah meninggal. Namun, Yanti tidak menyalahkan sistem rujukan yang membuatnya kesulitan. Menurut dia, kondisi anak sulungnya telanjur parah saat dibawa ke rumah sakit. ”Ada enak dan tidaknya. Tidak enaknya kalau harus dirujuk ke tempat lain karena fasilitasnya kurang,” ucapnya.
Sutiyo (58) mengalami hal yang sama. Ia harus datang ke Puskesmas Kebayoran Lama agar dapat dirujuk ke sebuah rumah sakit. ”Ada gangguan di kaki saya. Harus dirujuk ke rumah sakit dulu untuk berobat,” katanya.
Walaupun harus dirujuk, ia mengaku terbantu dengan program JKN-KIS. Ia tidak perlu mengeluarkan biaya pengobatan, mulai dari pemeriksaan hingga obat. Sebelumnya, ia dirawat inap selama tiga hari karena sejumlah penyakit. Sutiyo mengatakan, kala itu, dirinya harus membayar Rp 6 juta.
”Mengurusnya (JKN-KIS) pun gampang. Saat itu saya dan tetangga hanya diminta mengisi formulir oleh ketua RT. Tidak lama kemudian, saya sudah pegang kartunya,” lanjut Sutiyo.
Tidak sempurna
Program JKN-KIS resmi beroperasi pada 1 Januari 2014. Mengutip laman resmi BPJS, ada 205.071.003 peserta JKN-KIS per 1 November 2018. Pada 1 November 2019, pemerintah menargetkan peserta JKN-KIS sebesar 95 persen dari 265 juta penduduk Indonesia.
Walaupun banyak orang merasakan manfaat program JKN-KIS, ada pula yang enggan menggunakan layanan tersebut. Chairul Anwar (67) salah satunya. Saat ditemui, ia tengah berobat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
Ia menjadi peserta sejak 2014. Namun, baru sekali ia menggunakan pelayanan kesehatan dari BPJS Kesehatan.
Selama ini, ia berobat dengan mengandalkan asuransi yang disediakan perusahaan tempatnya bekerja. Rumitnya sistem rujukan untuk berobat membuat ia enggan memanfaatkan program JKN-KIS.
Ia bercerita, keengganannya itu bermula dari pengalaman pribadi. Suatu malam, anak Sutiyo sakit dan harus segera dibawa berobat. Ia membawa anaknya ke instalasi gawat darurat (IGD) sebuah rumah sakit. Setelah ditangani, pihak rumah sakit mengatakan kartu keluaran BPJS Kesehatan milik Sutiyo tidak dapat digunakan.
”Kata mereka, sakit anak saya bisa ditangani oleh puskesmas, tidak perlu ke IGD rumah sakit. Jadi mereka bilang, saya tidak bisa pakai BPJS. Tapi, apa saat itu saya bisa ke puskesmas? Ya tidak karena puskesmas sudah tutup di malam hari,” tutur Sutiyo.
Pada akhirnya, Sutiyo dapat dibebaskan dari biaya pengobatan setelah berdebat alot dengan pihak rumah sakit. Ia menyayangkan rumitnya sistem pengobatan yang ada, khususnya mengenai sistem rujukan. Menurut dia, tidak semua masyarakat awam memahami sistem ini. Ia menambahkan, hal itu dapat mempersulit masyarakat.
”Sebenarnya, program ini baik dan bermanfaat. Namun, ada sistem dan pelaksanaan yang harus dibenahi,” lanjut Sutiyo.
Sebenarnya, program ini baik dan bermanfaat. Namun, ada sistem dan pelaksanaan yang harus dibenahi.
Salah satu peserta JKN-KIS lainnya adalah Phriscilia Devi (27). Selain JKN-KIS, ia juga mengakses pelayanan kesehatan dengan asuransi dari perusahaan tempatnya bekerja. Phriscilia mengatakan, keduanya berperan untuk mengakses pengobatan secara mudah dan murah.
”Sewaktu melahirkan dulu, saya membayar Rp 1,5 juta untuk naik kelas. Saat itu saya menggunakan JKN-KIS. Pelayanan yang saya peroleh sepadan sekali. Belum lagi, uang itu kembali karena klaimnya diganti oleh asuransi,” katanya.
Kemudahan yang dirasakan Phriscilia baru dapat dirasakan setelah menjadi peserta JKN-KIS. Sejumlah masyarakat mengakui, mendaftar sebagai peserta JKN-KIS terbilang mudah. Cukup membawa sejumlah persyaratan, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
Namun, ada pula yang kesulitan untuk mendaftar. Butuh waktu lama bagi Clandestine (23) untuk memperoleh kartu dari BPJS Kesehatan itu. Pada November 2017, ia sudah harus tiba di lokasi pendaftaran pukul enam pagi untuk mengantre. Proses administrasi baru selesai sekitar pukul 09.30.
”Prosesnya tidak rumit sebenarnya. Ada petugas yang mengarahkan juga. Tapi, waktu menunggunya lama sekali. Hari itu, kartunya tidak langsung jadi. Baru jadi beberapa hari kemudian, mungkin sekitar dua minggu,” ujarnya.
Pada tahun kelimanya, pelaksanaan program JKN-KIS masih menuai kritik dan pujian. Ada banyak masyarakat yang mendambakan kesehatan dan menggantungkan harapannya pada program ini. Oleh karena itu, sejumlah pembenahan layak untuk dipertimbangkan. (SEKAR GANDHAWANGI)