Dari Diri Sendiri Menjadi Gerakan Massa
Untuk mewujudkan perubahan besar mengurangi produksi sampah, kuncinya sederhana. Mulailah dari diri sendiri dan tularkan ke sebanyak mungkin orang hingga menjadi gerakan massa.
Keindahan Pulau Pari di utara Jakarta ternodai sampah plastik di perairan dan pantainya. Sampah yang datang ke pulau itu tidak saja mengancam ekosistem laut, tetapi juga mata pencarian warga. Warga harus berjibaku menghalau sampah-sampah itu agar tetap dapat bekerja dari kelestarian alam setempat, Kompas, Sabtu (1/12/2018).
Sampah di sana bagian dari masalah pelik Ibu Kota. Betapa tidak, dari 7.000 ton sampah Jakarta, 1.900-2.000 ton merupakan sampah plastik. Kenyataan ini membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempati posisi kedua daerah yang memproduksi sampah plastik terbesar di perairan Indonesia.
Karena peliknya persoalan, kreativitas penanganan sampah plastik perlu terus didorong, salah satunya operasional Bank Sampah Induk (BSI) Satu Hati Jakarta Barat. Keberadaan bank sampah ini mampu mengurangi produksi limbah dari 1.500 ton menjadi 1.300 ton per hari. Tidak hanya itu, bank ini juga dapat menghasilkan keuntungan ekonomi Rp 275 juta per bulan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji mengatakan, inisiatif seperti itu dibutuhkan karena pembuangan sampah tidak dapat selamanya mengandalkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Dengan produksi sampah 7.000-7.500 ton per hari, pembuangan ke TPST Bantargebang hanya bisa sampai tahun 2021. Karena kapasitas TPST Bantargebang, kata Isnawa, 49 juta meter kubik.
Sebenarnya Pemprov DKI Jakarta menyiapkan solusi dengan membangun instalasi pengolahan sampah dengan Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter. Namun, proyek ini masih membutuhkan waktu 2-3 tahun lagi untuk dapat beroperasi.
”Kalau warga bisa mengurangi sampah plastiknya saja, sangat membantu memperpanjang usia TPST Bantargebang sementara pembangunan ITF berlangsung,” kata Isnawa.
Pemprov juga telah menerbitkan aturan pengurangan sampah plastik melalui Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, penggunaan kantong plastik masih tak terkendali hingga kini. Kenyataan ini dapat dilihat di gerai-gerai ritel, pasar tradisional, ataupun pusat perbelanjaan lain.
Kewajiban tiap individu
Sampah di Jakarta atau setidaknya di sungai-sungai di Jakarta yang berlabuh di Teluk Jakarta tidak bisa dipisahkan dari kontribusi warga sekitar, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bukan soal menyalahkan siapa buang sampah sembarangan dan siapa yang menuai. Kasatmata, perilaku buang sampah sesukanya memang masih menghinggapi warga Ibu Kota dan sekitarnya.
Untuk itu, kesadaran bersama guna mengelola sampah di lokasi masing-masing dan mengurangi sampah yang dibuang ke pembuangan akhir, termasuk yang terbuang tak resmi ke selokan, sungai, dan sembarang tempat lainnya, memang perlu dipelopori dari tingkat lokal.
Inisiatif-inisiatif kecil dari warga ataupun yang didukung program pemerintah perlu terus dipupuk untuk dikembangkan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor Elia Buntang mengatakan, saat ini di Kota Bogor ada 26 unit/lokasi tempat pembuangan sampah (TPS) 3R yang melayani sekitar 10.000 keluarga yang telah terbiasa atau mempraktikkan pemilahan sampah mulai dari rumah masing-masing. Bank sampah ada 330 unit.
TPS 3R ini adalah yang terbanyak se-Indonesia yang pembangunan sarana dan prasarananya berasal dari bantuan Kementerian PUPR. Awalnya pada 2015, kementerian menawarkan pembangunan TPS 3R ke daerah-daerah.
Namun, untuk mencapai ideal, ini tidak mudah karena terbentur ketersediaan lahan dan pola pikir masyarakat yang belum berubah, menganggap TPS itu harus jauh dari rumah mereka. Lahan yang dibutuhkan untuk satu TPS 3R sekitar 200 meter persegi sehingga cukup untuk tempat mencacah sampah plastik dan pembuatan kompos.
Elia menambahkan, permasalahan sampah itu sebetulnya sederhana. Jika sampah sudah diolah dari rumah, selesailah persolan sampah kita. Pola pikir diri sendiri dan masyarakat harus diubah, sampah sebetulnya tanggung jawab tiap individu sebagai penghasil sampah. Masalahnya, masyarakat mengharapkan pemerintah yang mengurusi.
Dalam Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2012 tentang pengolahan sampah, sudah jelas diamanatkan bahwa setiap anggota masyarakat bertanggung jawab atas sampah yang diproduksinya. Yang dimaksud sampah itu adalah limbah dari dapur rumah tangga atau sejenis.
Yang wajib diangkut petugas kebersihan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) adalah residu sampah dapur yang sudah tidak bisa diolah sama sekali.
Yang terjadi, di tempat pembuangan sementara (TPS) segala macam sampah dibuang ke situ, termasuk puing rumah, tebangan pohon, sampai perabotan rumah tangga, serta sampah elektronik. Jadi, jangan salahkan kalau petugas kebersihan DLH tidak mengangkut semua ”sampah” yang ada di bak TPS.
Batasi kantong plastik
Masih dari Bogor, Juli 2018, ada inisiatif pemerintah kota setempat dengan menerbitkan Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2012 tenang Pembatasan Penggunaan Kantong Belanja Plastik di Ritel Modern, yang berlaku efektif pada 1 Desember 2018. Ada 23 perusahaan ritel modern di Kota Bogor.
Tidak ada dana untuk sosialisasi perwali ini karena terbit pada pertengahan tahun. Namun, itu bukan menjadi kendala. Sosialisasi dilakukan dengan mengundang atau menemui para pemilik usaha sepanjang Agustus dan Oktober lalu.
Sebagian dari pengusaha atau pengelola pusat belanja lantas membuat dan memasang sendiri di gerai/supermarketnya spanduk atau poster sosialisasi perwali dengan desain dibuat DLH.
”Yang menggembirakan lagi, dari data yang kami terima akhir Oktober itu, walaupun belum terlalu gencar kami menyosialisasikan langsung ke masyarakat, sudah ada penurun penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai dari 14 ritel modern, total 2 ton per bulan. Ini baru 14 ritel dan belum ada keharusan pelarangan penggunaannya,” kata Wali Kota Bogor Bima Arya.
Penggunaan kantong plastik belanja sekali pakai dari 23 ritel ini, dengan asumsi 50-60 kilogram per hari per ritel, berarti 1,8 ton per hari atau 54 ton per bulan. Dengan berlakunya perwali ini, sampah plastik bisa tereduksi signifikan.
Produksi timbunan sampah warga Kota Bogor per hari adalah 600 ton, dengan asumsi jumlah penduduk 1 juta jiwa dan produksi sampah per hari 600 gram per jiwa. Sebanyak 13 persen dari total timbunan sampah itu adalah sampah kantong plastik sekali pakai, atau populer dengan sebutan kantong keresek.
Itu artinya, timbunan kantong keresek per hari mencapai 78 ton atau 2.340 ton per bulan. ”Kalau sampah jenis ini yang tereduksi hanya 54 ton per bulan, sisanya, ya, ke mana-mana, termasuk ke sungai dan ke laut.
Ini baru di sini, bagaimana di Jakarta atau kota lain yang jumlah penduduknya besar. Belum lagi sampah plastik lainnya. Jadi, jangan heran kalau BPJS tekor, karena lingkungan makin buruk, makin banyak orang sakit,” kata Bima.
Bima mengajak kampanye seperti ini dilakukan serentak dan dipastikan berlanjut di daerah lain, khususnya Jabodetabek. Perubahan ke arah lebih baik memang akan efektif jika dimulai dari diri sendiri. Namun, menularkannya ke sebanyak mungkin orang hingga terwujud gerakan massa adalah tujuannya agar perubahan besar itu benar terjadi. (Irene sarwindaningrum/ E05)