Warga Kemandoran Pluis Tak Masalahkan Bau Ayam
Hal apa pun yang dilakukan berulang kali akan terasa biasa dan benar meski sesungguhnya tidak demikian. Perlu kepedulian pemerintah untuk mengubah keseharian warga pemotong ayam di wilayah permukiman daerah Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selama bertahun-tahun.
Pantauan Kompas pada Kamis (6/12/2018) sekitar pukul 12.00, di sepanjang Jalan Kemandoran Pluis Nomor 10 RT 009 RW 014 Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ada satu hingga dua truk membawa puluhan keranjang oranye berisi ayam. Satu truk membawa hingga 1.500 ayam.
Ada lima tempat penampungan ayam yang di berada di bagian kanan dan kiri jalan. Penampungan atau yang biasa disebut warga sebagai pangkalan ayam juga bersebelahan dengan rumah warga serta warung makan.
Ketika memasuki area pangkalan ayam, bau khas dari ayam langsung menusuk ke hidung dan bagi yang belum terbiasa, bau ini pasti mengganggu dan membuat mual. Namun, bagi warga bahkan anak-anak yang tinggal di sana, bau ini bukanlah masalah.
Pada sisi lain, kehidupan warga tetap seperti pada umumnya. Para ibu mengobrol di pinggir jalan, anak-anak bermain sepeda, ada juga yang saling berkejaran. Ada penjual mainan, bahkan penjual makanan baik di warung maupun gerobak.
”Kalau sudah dua atau tiga hari di sini, bau kayak gini sudah biasa kok, Mbak. Bahkan, pegawai yang kerja di pangkalan ayam itu, mereka bisa makan hingga tidur di sana,” kata Desi (32), warga Kemandoran Pluis.
Desi yang juga membuka warung nasi mengatakan, meski warga tinggal dekat dengan pangkalan ayam, tidak ada warga yang terkena flu burung. ”Saya sudah sepuluh tahun lebih di sini enggak ada yang sakit kok,” ujarnya.
Padahal, keadaan ini menyebabkan polusi udara dari ayam yang diperparah oleh keadaan pangkalan dan jalan yang hanya dibersihkan dengan menyemprot air. Pembersihan dilakukan tanpa menggunakan bahan disinfektan untuk mensterilkan bekas kotoran ayam.
Memasuki salah satu pangkalan ayam, Kompas mendapati lantai pangkalan yang terbuat dari semen dipenuhi oleh kotoran dan bulu ayam. Para pegawai sibuk memindahkan keranjang ayam dari truk. Sementara warga sibuk memilih ayam untuk dibeli.
Suratmi (48), warga sekaligus pemotong ayam, mengatakan, per hari, ia membeli 80-100 ayam untuk dijual kembali. ”Setelah beli dari pangkalan, ayamnya dibersihkan dulu. Habis itu baru dijual. Biasanya saya jual ke Pasar Pisang dan Ramayana,” ujarnya.
Padahal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjanjikan ada penataan pedagang dan pemotongan unggas sejak sepuluh tahun silam. Pemprov sudah menyiapkan empat tempat penampungan dan pemotongan unggas yang diperbolehkan. Lokasi itu berada di daerah Rawa Kepiting (Jakarta Timur), Petukangan Utara (Jakarta Selatan), Kali Deres (Jakarta Barat), dan Rorotan (Jakarta Utara). (Kompas, 22 Oktober 2014)
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Unggas, ada larangan pemeliharaan unggas ternak di permukiman dan mewajibkan sertifikasi unggas hias. Diharuskan pula melakukan relokasi tempat peternakan dan pemotongan unggas serta mengatur lalu lintas unggas hias dari daerah lain. (Kompas, 7 April 2008)
Namun, pangkalan dan pemotongan ayam di Jalan Kemandoran Pluis belum juga direlokasi. Heri (49), warga Kemandoran Pluis, menyampaikan, pemberitaan soal relokasi pangkalan ayam ke Petukangan Utara, Jakarta Selatan, sempat didengarnya sekitar dua tahun lalu.
”Dulu sempat Gubernur bilang akan ada relokasi penampungan dan pemotongan ayam yang ada di sini. Namun, kami enggak tahu alasan pastinya apa dan sampai sekarang belum juga dipindah,” kata Heri.
Meski berada di lingkungan padat penduduk, kelima pangkalan ayam di Jalan Kemandoran Pluis telah mengantongi izin dari pemerintah terkait penggunaan lokasi sebagai penampungan ayam. Namun, lain halnya dengan pemotongan ayam di permukiman warga.
Ketika ditanyakan soal aturan pemotongan unggas di wilayah permukiman, Samin (52), pemotong ayam, mengaku, tidak ada aturan. ”Kalau begini kan namanya usaha rakyat, pemerintah juga kayaknya enggak tahu ada pemotongan di daerah sini,” katanya.
Warga juga tak ada yang mengeluhkan bau dari ayam ini. Bagi mereka, yang namanya usaha, maka harus diusahakan. Hal ini dikatakan oleh Samin yang merupakan warga asli Sragen.
”Saya sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi pemotong ayam. Kalau bicara bau ya bau, tapi kan namanya usaha. Baunya juga pas pemotongan ayam saja, setelah itu kan dibersihin, disikatin jalanannya pakai air dan sabun colek juga,” kata Samin.
Samin tinggal di Jalan H Pekir III RT 011 RW 006 Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sekitar 300 meter dari daerah pangkalan ayam. Wilayah tempat tinggalnya merupakan permukiman padat penduduk.
Sama halnya dengan Gini (58) yang telah menjadi pemotong ayam lebih dari 25 tahun. Warga asli Sragen ini juga tidak mengeluhkan keadaannya dan mengatakan sudah terbiasa.
Ayam dipotong dan dibersihkan tepat di depan rumahnya. Setelah ayam dipotong, kemudian dicelupkan ke panci berisi air mendidih. Menurut Gini, hal ini membuat bulu ayam lebih mudah tercabut ketika dimasukkan ke mesin pencabut bulu.
”Tiap hari saya motong dan bersihin 50 ayam. Kalau ayam ini sudah dibersihkan semuanya, paling jalanannya disiram aja pakai air dan disapu pakai sapu lidi. Setelah itu bersih kembali,” ujar Gini.
Mayoritas warga memang bekerja sebagai pemotong ayam. Jalan H Pekir terdiri atas beberapa ruas jalan yang dipenuhi rumah warga. Di bagian depan setiap rumah terdapat drum dan mesin pencabut bulu ayam.
Lebar jalan di wilayah permukiman sekitar 1,5 meter yang hanya bisa dilewati dua sepeda motor. Di satu ruas jalan terdapat lebih dari sepuluh rumah warga yang letaknya berdempetan.
Mirisnya, air got yang terdapat di sepanjang jalan tampak keruh dan tidak mengalir. Tak hanya itu, di bagian sela-sela penyangga got dipenuhi bulu ayam yang menyangkut. Meski telah dibersihkan, tidak sepenuhnya bersih.
Pemotongan ayam dilakukan sekitar pukul 16.00 setiap harinya. Pada saat bersamaan, ada banyak anak berusia lima hingga sepuluh tahun yang lalu lalang bermain sambil membawa makanan di tangan mereka. (SHARON PATRICIA)