Tanah Abang yang Tak Kunjung Jinak
Kawasan Pasar Tanah Abang terus bersalin rupa setiap pemimpin DKI Jakarta berganti. Kebijakan demi kebijakan silih berganti dicoba, namun belum ada yang sukses menjinakkan kesemrawutan sentra perdagangan itu.
Kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, terus bersalin rupa setiap pemimpin DKI Jakarta berganti. Kebijakan demi kebijakan silih berganti dicoba, namun sejauh ini belum ada yang betul-betul berhasil menjinakkan masalah kesemrawutan sentra perdagangan tekstil dan stasiun itu.
Pedagang kaki lima (PKL) yang mengokupasi ruang publik, berpadu dengan padatnya arus lalulintas, dari gerobak barang hingga kendaraan, belum juga mempan dituntaskan dengan kebijakan apapun yang diterapkan di sana.
Februari 2019 ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat kebijakan baru untuk menata kawasan Tanah Abang, yaitu menutup satu sisi trotoar di Jalan Jati Baru Raya dari pejalan kaki. Penutupan satu sisi trotoar ini adalah kebijakan keempat yang kembali mengubah wajah Tanah Abang sejak 2013.
Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara mengatakan, kebijakan ini dimaksudkan untuk menata Jalan Jati Baru Raya sebagai bagian menuju penataan kawasan itu menjadi kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD).
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio menilai, banyaknya kebijakan yang terus silih berganti di Tanah Abang mengesankan pengelolaan yang bingung dari pemerintah daerah. Namun, beragam penataan itu belum menyentuh masalah utama di sana, yaitu penataan PKL. “Ini tanda manajemen by bingung. Tidak jelas,” katanya, Rabu (6/2/2019).
Belum ke akar
Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho mengatakan, keruwetan Tanah Abang tak akan bisa selesai sebelum kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyentuh masalah substansial di sana. Pembangunan jembatan penyeberangan multifungsi (JPM) dan penutupan satu sisi trotoar Jalan Jatibaru Raya itu belum menyentuh akar masalah Tanah Abang.
Bagi publik, masalah utama Tanah Abang adalah PKL yang seolah merajai trotoar. Namun, kata Teguh, meskipun terlihat paling menonjol, kemunculan PKL ini sebenarnya hanya fenomena kecil dari masalah mendasar di Tanah Abang.
Masalah mendasar itu adalah permasalahan sosial dan ekonomi, dipadu ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola kawasan serta ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan ruang yang layak untuk berjualan bagi PKL.
“Premanisme diakui atau tidak diakui itu terjadi di Tanah Abang. Kenapa ini bisa muncul? Karena ada kebutuhan PKL untuk mendapatkan keamanan berjualan di sana sehingga melahirkan simbiosis mutualisme, ditambah ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan ruang yang layak untuk PKL. Saat pemerintah mampu menyediakan ruang yang layak untuk PKL, maka premanisme akan mati dengan sendirinya,” katanya.
Premanisme diakui atau tidak diakui itu terjadi di Tanah Abang.
Teguh mengatakan, penutupan satu sisi trotoar dan JPM itu memang kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya. Tujuannya agar PKL tak berjualan lagi di sisi trotoar itu karena tak ada lagi pejalan kaki di sana.
Namun, kebijakan ini hanya kebijakan jangka pendek saja. Kebijakan jangka menengah adalah revitalisasi Pasar Blok G dan kebijakan jangka panjang adalah menata secara komperehensif seluruh kawasan Tanah Abang.
Terus berubah
Sejak 2013, atau dalam kurun waktu sekitar lima tahun saja, sudah empat kebijakan penataan yang sangat mengubah wajah kawasan diterapkan di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang.
Pada Juli 2013, Joko Widodo yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta, melakukan penertiban PKL, diiringi pemidahan para PKL dari trotoar ke Pasar Blok G yang sudah direvitalisasi.
Namun, tak sampai setahun, pedagang yang direlokasi ke Pasar Blok G mengeluhkan sepinya pembeli di sana. Tahun 2016, atau tiga tahun setelah kebijakan yang sempat banyak dipuji itu, Pasar Blok G sudah sepi ditinggal sebagian besar penjual. Trotoar di seputaran Pasar Tanah Abang, mulai diokupasi PKL lagi.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang menjabat kemudian, tegas dan rajin melakukan penertiban PKL di sana. Ia juga sempat mewacanakan pembangunan jembatan layang yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang dan Pasar Blok G. Jembatan ini diyakini bakal menghidupkan Pasar Blok G yang akan digunakan untuk relokasi PKL lagi.
Di era Basuki, trotoar Tanah Abang direvitalisasi menjadi lebar sekitar lima meter, lengkap dengan taman-taman yang cantik yang sekarang masih ada. Sangat nyaman untuk pejalan kaki, kalau tak diokupasi.
Penataan trotoar Tanah Abang merupakan bagian dari penataan trotoar di 42 titik di tahun 2016 dengan anggaran mencapai sekitar Rp 150 miliar. Namun, tak sampai dua pekan trotoar lebar itu selesai dibangun, PKL kembali menduduki trotoar.
Ketegasan Basuki dalam menertibkan PKL yang nekat berdagang memang membuat kawasan Tanah Abang sempat terlihat lebih tertib. Namun, ketertiban itu semu karena para PKL hanya menunggu waktu untuk kembali ke sana.
Sekitar pertengahan 2017, Tanah Abang sudah kembali pada wajah lama : ruwet, banyak PKL, abang-abang di sudut jalan yang tak malu-malu menawarkan lapak di trotoar seharga Rp 1,5 juta sebulan, dan kemacetan.
Pada Desember 2017, Gubernur Anies Baswedan yang saat itu baru saja dilantik, melakukan gebrakan kebijakan di sana. Ia menutup Jalan Jatibaru Raya untuk memindahkan para PKL dari trotoar ke jalan raya.
Kebijakan ini menuai protes, salah satunya dari Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya yang menyebutkan adanya maladministrasi dalam kebijakan itu. Atas rekomendasi dari Ombudsman, Jalan Jatibaru Raya dibuka dua arah pada Oktober 2018.
Saat itu, pembangunan JPM Tanah Abang sudah dilakukan oleh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya. Di JPM itu, ditempatkan 446 PKL yang sebelumnya menempati Jalan Jatibaru Raya. Kini, muncul kebijakan penutupan satu sisi trotoar Jalan Jatibaru Raya dari pejalan kaki.
Teguh mengatakan, idealnya, sebuah kebijakan penataan kawasan tidak berubah setiap kali pemimpin berubah. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membuat sebuah blueprint (dokumen rancangan) penataan kawasan Tanah Abang secara jangka panjang, yang mencakup semua aspek dari PKL, parkir, lalulintas dan sosial serta ekonomi masyarakat.
Oleh sebab itu, dokumen rancangan penataan Tanah Abang itu seharusnya dibuat secara mendetail dan dikukuhkan dalam rencana jangka menengah daerah (RPJMD) dan peraturan daerah. Dengan ini, siapapun pemimpin DKI Jakarta, Tanah Abang tak perlu bersalin rupa.