Kebakaran dan Masalah Kelistrikan yang Menjadi Pemicu
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kurun waktu dua hari terakhir terjadi dua kasus kebakaran di wilayah Jakarta Selatan. Sementara berdasarkan data dari Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jaksel, penyebab kebakaran terbesar berasal dari hubungan pendek arus listrik (korsleting).
Pada Minggu (17/3/2019), kebakaran terjadi di sebuah warteg milik Fatonah di Jalan Poltangan Raya, RT 009 RW 011, Pejaten Timur, Pasar Minggu. Bangunan seluas 12 meter x 20 meter itu terbakar diduga karena kebocoran gas. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, tetapi kerugian material diperkirakan Rp 300 juta.
Sementara itu, pada Senin (18/3/2019) dini hari, dilaporkan kebakaran sebuah pabrik kerupuk di Jalan Pejaten Barat, RT 002 RW 008, Pasar Minggu. Pabrik kerupuk milik Ngatimin (45) itu diduga terbakar akibat korsleting listrik. Pemilik dan karyawan pabrik sedang tidak berada di lokasi pada saat kejadian Senin dini hari. Kejadian justru diketahui oleh para tetangga di sekitar lokasi. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut, tetapi kerugian diperkirakan Rp 30 juta. Selain itu, juga ada sebuah sepeda motor yang disimpan di pabrik dan ikut terbakar.
Kepala Seksi Operasi Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jaksel Sugeng mengatakan, penyebab kebakaran paling banyak terjadi di Jaksel adalah karena korsleting listrik. Setelah itu, baru disusul kebocoran gas dan rokok yang dibuang sembarangan. Terkait dengan korsleting listrik, Sudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jaksel sebenarnya sudah beberapa kali melakukan sosialisasi pencegahan kebakaran bersama PT PLN Persero. Penyuluhan dilakukan di tingkat PKK ataupun forum yang ada di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA). Namun, kesadaran masyarakat setelah mengikuti sosialisasi tersebut belum sepenuhnya berubah.
”Terkadang karena pengetahuan yang minim, satu kabel colokan bisa digunakan untuk memakai beberapa alat elektronik dengan watt yang besar. Padahal, seperti itu, kan, sangat berbahaya karena bisa menyebabkan korsleting,” ujar Sugeng.
Selain itu, kasus yang menjadi perhatian Sudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan adalah kebakaran yang terjadi di rumah atau tempat usaha yang dikelilingi teralis besi. Pada awal Januari lalu, suami-istri Andreas Susanto (73) dan Ester Tanujaya (78) meninggal dunia akibat kebakaran yang melanda ruko mereka di Jalan Ciledug Raya, Kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama. Korban yang berada di lantai 2 dan 3 ini diduga tidak bisa menyelamatkan diri dan terperangkap di dalam rumah. Saksi mata kejadian dan petugas pemadam kebakaran pun sulit untuk mengevakuasi korban lantaran rumah dikelilingi oleh teralis besi.
Berdasarkan pengalaman para petugas pemadam kebakaran, korban yang terjebak di bangunan yang dikelilingi teralis besi biasanya pingsan terlebih dulu karena terlalu banyak menghirup asap. Baik penghuni di dalam rumah maupun warga yang hendak membantu mengevakuasi pun kesulitan mengakses rumah karena tertutup terlalu rapat.
”Padahal, di Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran sudah diatur pelarangan penggunaan teralis besi untuk rumah maupun tempat usaha,” ujar Sugeng.
Namun, selama ini masyarakat masih banyak mengabaikan aturan tersebut. Penegakan aturan perda di lapangan pun belum berjalan karena kendala koordinasi antarinstansi. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan harus berkoordinasi dengan Satpol PP untuk penegakan aturan secara menyeluruh. Namun, karena lemahnya koordinasi antarinstansi, aturan pun masih sebatas macan kertas.
Selain itu, Sugeng juga menyoroti minimnya fasilitas pemadam kebakaran di lingkungan padat penduduk. Di setiap balai RT/RW seharusnya terdapat fasilitas alat pemadam api ringan (APAR) untuk memadamkan api dalam skala kecil. Bantuan APAR diberikan oleh Pemprov DKI melalui RT/RW. Namun, ketika berganti kepengurusan RT/RW, alat pemadam kebakaran itu kerap hilang atau tidak terawat. Akibatnya, saat terjadi kebakaran di lingkungan padat penduduk, masyarakat kewalahan untuk memadamkan api.
Sementara itu, Manajer Komunikasi PT PLN Disjaya Dita Artsana mengatakan, penyebab korsleting listrik biasanya adalah instalasi di dalam rumah. Pelanggan bertanggung jawab atas instalasi rumah atau bangunan miliknya. Saat memasang instalasi, pelanggan bisa menghubungi instalator listrik yang mumpuni. Sementara untuk mendapatkan sertifikat laik operasi (SLO), pelanggan dapat berhubungan langsung dengan lembaga pemeriksa instalasi.
”PLN juga sudah rutin berkoordinasi dengan Ditjen Listrik (DJK). Mereka memiliki pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) yang menganalisis penyebab kebakaran. Beberapa program yang dikerjasamakan dengan DJK adalah sosialisasi kelistrikan di daerah padat penduduk, seperti Tambora, Jakarta Barat,” kata Dita.
Dita juga mengakui bahwa masih banyak ditemukan jaringan listrik ilegal di Jakarta sehingga PLN rutin melakukan pemeriksaan rutin untuk mencegah kebakaran. Namun, jika penyebab kebakaran berasal dari instalasi di dalam rumah, hal itu menjadi kewenangan pelanggan. Sebagai langkah preventif, PLN harus menggandeng lembaga inspeksi teknik tegangan rendah untuk mengecek apakah kabel yang digunakan ber-SNI atau tidak serta status sertifikasi instalasi listrik di dalam rumah pelanggan.
”Selama ini kewenangan PLN hanya mengecek alat pengukur meternya, apakah sesuai dengan angka kalibrasi atau tidak. Apakah di sepanjang jaringan ada kabel yang nyantol atau tidak. Kalau ketahuan ada yang nyantol (mencuri listrik), langsung dibongkar dan dibawa ke kantor pelanggan. Mereka akan dikenai denda penertiban pemakaian tenaga listrik (PPTL),” kata Dita.