Klausul Perjanjian dengan Aetra Berpotensi Masalah Hukum
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Klausul perjanjian dalam Head of Agreement dengan PT. Aetra Air Jakarta pada tanggal 12 April 2019 berpotensi menimbulkan masalah hukum. Rencana untuk penghentian privatisasi penyediaan air bersih dinilai belum serius dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi melalui tim dari Direktorat Pengaduan Masyarakat dan Penelitian Pengembangan menyoroti sejumlah masalah dalam pengelolaan air bersih di Jakarta berdasarkan informasi dan dokumen yang diperolehnya. Begitu pula paparan dari Tim Tata Kelola Air mengenai opsi penghentian privatisasi air di DKI Jakarta yang juga menunjukkan persoalan.
“Setelah KPK mendengar penjelasan dari Tim Tata Kelola Air di Pemprov DKI pada 10 Mei 2019, KPK dan Pemprov DKI akan mengagendakan pertemuan lanjutan untuk mengetahui kebijakan yang diambil terkait penghentian privatisasi pengelolaan air bersih di Jakarta,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Rencana pertemuan, lanjut Febri, akan dilakukan sekitar Juni 2019. Selain untuk mengetahui kebijakan, KPK hendak melakukan klarifikasi dari pengaduan masyarakat terkait dengan berakhirnya kontrak Pengelolaan air bersih antara PT.PAM Jaya dengan PT. Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) pada tahun 2023.
Berdasarkan paparan Tim Tata Kelola Air, diketahui bahwa privatisasi pengelolaan air bersih sejak tahun 1998 sampai dengan Desember 2016, PT PAM Jaya merugikan Rp 1,2 triliun sedangkan laba yang dibukukan oleh pihak swasta Rp 4,3 triliun. “Laba yang diperoleh pihak swasta ini dinilai berbanding terbalik dengan kinerja, target penyediaan air bersih, dan produksi air untuk DKI Jakarta yang tidak sesuai dengan yang diharapkan,” ujar Febri.
Sementara kerugian yang diderita PT PAM Jaya disebabkan karena terdapat beberapa klausul dalam perjanjian kerjasama yang memberatkan pemerintah. Salah satunya adalah kesepakatan IRR (Internal Rate of Return) 22 persen dan kewajiban pemerintah membayar defisit.
Tim Tata Kelola Air merekomendasikan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ada beberapa skenario opsi kebijakan penghentian privatisasi. Terlebih lagi, perjanjian yang ditandatangani pada 12 April 2019 antara Pemprov DKI dan Aetra menyisakan masalah.
Salah satunya klausul perjanjian dalam HoA yang berpotensi menimbulkan masalah hukum, khususnya pemberian ekseklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di DKI Jakarta. “Klausul ini menunjukkan bahwa penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI,” ujar Febri.
“Klausul ini menunjukkan bahwa penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI,” ujar Febri.
Sebab mengacu pada Putusan Mahkamah Agung tahun 2017, klausul perjanjian harus dibuat untuk memberi keuntungan maksimun dari aspek keuangan dan meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat DKI.
Secara terpisah, Direktur LBH Jakarta Arief Maulana menyampaikan telah menolak klaim Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur DKI Jakarta dan cara pengambilalihan pengelolaan air lewat Head of Agreement yang justru merugikan keuangan negara.
“Hal ini terbukti sekarang, KPK memperingatkan Gubernur karena langkah itu bermasalah secara hukum. Sekarang pun kerugian negara sudah nyata, KPK sebaiknya bertindak tegas,” kata Arief.
“Hal ini terbukti sekarang, KPK memperingatkan Gubernur karena langkah itu bermasalah secara hukum. Sekarang pun kerugian negara sudah nyata, KPK sebaiknya bertindak tegas,” kata Arief.
Menurut Arief, apabila Gubernur memiliki komitmen untuk menghentikan privatisasi air Jakarta maka langkah yang dilakukan harus tegas dengan memutus Kontrak swasta, baik Palyja dan Aetra. Karena masalah mendasarnya terletak pada kontrak kerjasama yang memang terbukti melanggar konstitusi merugikan negara dan masyarakat selama hampir 20 tahun.