Lahan Terdampak MRT, Pemilik Belum Terima Ganti Rugi
Sekalipun pembangunan MRT sudah tuntas, masih ada warga yang huniannya terkena proyek MRT tetapi belum menerima ganti rugi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka kini kembali menuntut pemerintah untuk segera membayarkannya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga di Jalan Panglima Polim Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang lahannya terdampak oleh pembangunan moda raya terpadu atau MRT, belum menerima ganti rugi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka menuntut pemerintah segera mencairkannya.
Salah satu warga terdampak, Maruli Tobing (49), di Kantor Ombudsman Jakarta Raya, Jakarta, Kamis (23/5/2019), mengatakan, hingga saat ini tak ada kejelasan terkait proses pembayaran ganti rugi itu. Padahal, proyek MRT fase pertama, Bundaran Hotel Indonesia sampai Lebak Bulus, sudah selesai.
”Sekarang lahan kami sudah dipotong, tetapi tak ada ganti rugi. Kami sudah bolak-balik ke (Dinas) Bina Marga juga tak ada jawaban. Kami kayak mengemis untuk hak kami sendiri,” tutur Maruli.
Maruli dan dua temannya yang juga terdampak pembangunan MRT, Hendri (49) dan Budi Setiawan (59), ditemui Asisten Ombudsman Jakarta Raya Hasidin Samada. Mereka melaporkan adanya dugaan maladministrasi yang dilakukan Pemprov DKI karena terus menunda pembayaran ganti rugi tanah untuk proyek MRT.
Maruli, Hendri, dan Budi hanyalah perwakilan dari sekitar 10 warga yang lahannya tak kunjung diganti rugi oleh Pemprov DKI.
Warga yang menuntut ganti rugi sebenarnya pernah dipanggil Dinas Bina Marga DKI Jakarta pada 2014 untuk menandatangani nominatif pembebasan lahan.
Saat itu, nilai harga tanah yang ditawarkan pemerintah sebesar Rp 50 juta per meter persegi. Namun, tidak semua warga setuju dengan harga tersebut.
Hingga 2016, pemerintah bersikukuh menawarkan harga yang lebih rendah kepada warga sebesar Rp 39 juta per meter persegi. Melihat harga yang terus menurun, warga pun melunak dan menyetujui nilai harga tanah tersebut pada November 2018.
”Kami akhirnya mengalah dan setuju. Sudah tanda tangan juga dengan disaksikan notaris resmi. Kami dijanjikan Desember 2018 akan dibayar, tetapi sampai sekarang tak dibayar-bayar,” kata Maruli.
Pendapatan menurun
Hendri berharap, pemerintah segera membayar uang ganti rugi karena warga mulai merasakan dampak kerugian dari proyek MRT. Dia menyebut, mayoritas lahan di sana adalah ruko.
Ruko tersebut dijadikan tempat berjualan, seperti karpet, cat, lampu, bahan bangunan, dan onderdil otomotif. Rata-rata keuntungan mereka pun, kata Hendri, anjlok hampir 50 persen.
”Kami yang tadi mengandalkan sewa ruko, tak ada yang mau menyewa. Jadi, zero income,” kata Hendri.
Hendri juga meminta proses pembayaran ganti rugi dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Sebab, pada dasarnya, warga tidak antipembangunan.
”Kami dukung MRT. Tetapi, jangan sampai ada warga yang mendapat ganti rugi, lalu sebagian lagi tidak. Semua harus mendapat perlakuan yang adil,” katanya.
Dievaluasi kembali
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengakui masih ada beberapa bidang di Kelurahan Pulo yang belum selesai diganti rugi. Mereka sebenarnya telah diundang dalam musyawarah warga pada 2017, tetapi mereka menolak sepakat dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
”Harusnya yang enggak sepakat itu dimusyawarahkan lagi. Kenapa dulu kok tidak sepakat? Begitu sudah ada yang dibayar, yang tidak sepakat mulai nuntut lagi ingin dibebaskan,” kata Hari.
Oleh karena itu, Hari menawarkan solusi kepada warga itu agar segera mengirim surat kepada Dinas Bina Marga DKI untuk proses ganti rugi ulang. Nanti, data yang masuk akan disinkronkan kembali dengan data terdahulu saat proses pembebasan lahan berlangsung tahun 2014.
”Nanti tinggal kami tinjau ulang karena kami, kan, sudah punya datanya yang dulu. Yang penting, buat suratnya dulu, mohon peninjauan kembali atas tanah yang terdampak proyek itu,” tutur Hari.
Kelak, nilai harga tanah akan disesuaikan dengan penghitungan yang lama. ”Kami akan pakai appraisal lama agar sama dengan warga yang lain, yang dulu sudah sepakat di awal. Ini agar adil,” ujar Hari.
Kalaupun proses ini bisa dituntaskan tahun ini, pembayaran ganti rugi harus menunggu tahun depan. Sebab, masih harus melalui proses penganggaran kembali untuk tahun selanjutnya.