JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah nomenklatur kementerian dan lembaga untuk pemerintahan periode 2019-2024 diajukan sekelompok akademisi dan pegiat pembangunan berkelanjutan. Hal ini menyusul paradigma pembangunan berkelanjutan, diantaranya tercermin dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis dengan mandat bagi setiap provinsi untuk menerapkannya, sebagai dasar penentuan tata ruang dan aktivitas pembangunan.
Sebagian di antara hal tersebut mencuat dalam dialog dengan tajuk “Membangun Warisan Sustainability 2019-2024: Agenda Transformasi, Tata kelola dan Kepemimpinan Nasional dengan Zaken Kabinet yang Progresif.” Dialog tersebut diadakan Thamrin School for Climate & Sustainability serta Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) di Jakarta, Rabu (29/5/2019) petang hingga malam hari.
Sebagian di antara pembicara yang hadir adalah Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, penilik Thamrin School for Climate & Sustainability Ari Mochamad, peneliti senior Perencanaan Wilayah dan Kota Pusat Riset Perkotaan dan Wilayah UI Andy Simarmata, dan pengajar di Universitas Prasetiya Mulya, Jalal. Pada dialog tersebut, Andy memaparkan salah satu usulan tentang urgensi adanya Kementerian Perkotaan.
Kementerian Perkotaan, imbuh Andy, dibutuhkan karena saat ini sekitar 55 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Ia menambahkan, dari 514 wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia, hanya ada 98 kota otonom.
Kementerian Perkotaan dibutuhkan karena saat ini sekitar 55 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Ia menambahkan, dari 514 wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia, hanya ada 98 kota otonom.
Artinya, ada wilayah-wilayah perkotaan dalam kabupaten-kabupaten tersebut yang tidak memiliki walikota dan cenderung tumbuh tanpa diatur. Andy mencontohkan hal itu misalnya terjadi dengan Cibinong di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menurutnya, di seluruh Indonesia terdapat 380 lokasi yang memiliki persoalan dengan tipikal sebagaimana terjadi di Kabupaten Bogor. Selain itu, urgensi lainnya adalah keberadaan Indonesia di tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dengan potensi konektivitas global yang belum dimanfaatkan kota-kota di sekitarnya.
“Mestinya ada strategi ofensif menjadi global maritime city,” kata Andy.
Ia mencontohkan, hal itu misalnya bisa dilakukan Bitung di Sulawesi Utara dan Kuala Tanjung di Sumatera Utara. Andy mengusulkan, sejumlah nama seperti Oswar Muadzin Mungkasa atau Mari Elka Pangestu bisa dipertimbangkan untuk memimpin kementerian tersebut.
Sementara Ari mengusulkan adanya Kementerian Lingkungan dan Perubahan Iklim. Hal ini menyusul tekanan berat pada lingkungan yang sebagian di antaranya menyusul adanya perubahan iklim.
Kementerian ini, diharapkan akan bisa mengatasi dampak-dampak buruk terkait hal tersebut pada berbagai bidang seperti kesehatan dan pertanian. Mitigasi penurunan emisi di bidang industri dan infrastruktur menjadi salah satu yang mesti difokuskan kementerian tersebut. Untuk kementerian ini, Ari mengusulkan Sonny Keraf atau Mas Achmad Santosa guna memimpinnya.
Urgensi pembangunan berkelanjutan
Sementara Ahmad menyoroti perihal kurangnya perhatian yang diberikan pemerintah selama ini terhadap pembangunan berkelanjutan. Ini sekalipun sejumlah kesepakatan internasional dan inisiatif telah diikuti dan dimulai, seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim, dan Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (LCDI).
Selama ini, imbuh Ahmad, penerapan konsep pembangunan berkelanjutan cenderung dianggap tidak ada urgensinya. Padahal ke depan, kompetisi perdagangan internasional akan menggunakan isu keberlanjutan, rendah emisi, dan hijau.
Di Indonesia, salah satu cara untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang adalah dengan mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar pada kendaraan bermotor. Sektor perhubungan menjadi fokus yang tidak bisa dihindari lagi.
Ia melihat, di Indonesia, salah satu cara untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang adalah dengan mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar pada kendaraan bermotor. Sektor perhubungan menjadi fokus yang tidak bisa dihindari lagi.
Ahmad menambahkan, karena itulah dibutuhkan sejumlah sosok yang mumpuni untuk memimpin kementerian itu nantinya. Ia mengusulkan nama-nama seperti Bambang Susantono dan Prof. Danang Parikesit untuk melakukannya.
Pada bagian akhir Jalal mengingatkkan, analisis dan saran dari kalangan masyarakat sipil itu penting untuk dipertimbangkan. Ini sekalipun kekuatan untuk menentukan struktur dan nomenklatur kabinet tidak secara langsung terkait dengan mereka.
Jalal mengingatkan, hal itu merupakan upaya untuk tidak menyerahkan begitu saja proses-proses penyusunan kabinet kepada para oligarkh dan partai politik yang diduga akan tetap berupaya sebagai penentu susunan kabinet.Lebih jauh Jalal mengingatkan pentingnya partisipasi dan mobilisasi intelektual di kalangan masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan mendatang, menyusul komposisi kekuatan politik pendukung pemerintah kelak di parlemen yang diduga bakal dominan.