Warga menggugat pemerintah agar segera membuat kebijakan yang efektif menangani polusi udara Jakarta. Buruknya kualitas udara Jakarta membuat warga tak terlindungi.
Warga menggugat pemerintah agar segera membuat kebijakan yang efektif menangani polusi udara Jakarta. Buruknya kualitas udara Jakarta membuat warga tak terlindungi.
JAKARTA, KOMPAS - Gugatan perwakilan warga negara terkait polusi udara DKI Jakarta resmi didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2019). Polusi udara membuat penduduk DKI terpapar dampak pencemaran udara, serta melanggar hak asasi manusia terkait hak lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Istu Prayogi (54), salah satu penggugat, mengaku, paru-parunya divonis sensitif udara kotor pada tahun 2010, dengan gejala yang sudah dirasakan sejak tahun 1995.
Saat ini, ia tinggal di Depok namun selama 30 tahun terakhir bekerja di Jakarta, sebagian besar sebagai pengajar di perguruan tinggi.
Sebelum beraktivitas di Jakarta, Istu tinggal di Purworejo, Jawa Tengah. Saat itu, gejala sensitif udara kotor tidak pernah dirasakannya.
Kondisi udara buruk bisa memicu sakit kepala yang luar biasa. Itu membuatnya bergantung pada obat pereda sakit kepala hingga sekarang. “Ada obat yang sampai tidak mempan lagi,” kata Istu.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Simanjuntak mengatakan, sebelum sidang pertama yang dijadwalkan tanggal 25 Juli, pihaknya akan terus berkampanye bahwa udara Jakarta sudah sangat tercemar.
Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota yang menginisiasi pengajuan gugatan ini membuka pos pengaduan daring guna mengajak masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran udara di Jakarta untuk menjadi calon penggugat, pada 14 Maret-14 April 2019.
Pada awalnya, terdapat 57 warga yang mendaftar menjadi calon penggugat, tetapi akhirnya yang resmi jadi penggugat 31 orang. Nelson menjelaskan, jumlah itu didapatkan setelah melalui pengukuhan komitmen, termasuk komitmen meluangkan waktu. Namun, itu menurut dia bukan berarti warga menarik dukungan.
Berdasarkan informasi di laman petisi daring www.akudanpolusi.org pukul 17.30 kemarin, sebanyak 1.119 sudah menandatangani dukungan terhadap upaya mengurangi polusi udara Jakarta.
Adapun lima pihak menjadi tergugat, yaitu Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Dua pihak menjadi turut tergugat, yaitu Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Dalam rangka mengurangi polusi udara di Jakarta, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berkoordinasi dengan Pemprov DKI menyiapkan hujan buatan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, sesuai penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, kemarau yang diperparah oleh fenomena el-nino di Jakarta kini membuat partikel-partikel dari aktivitas di kota akhirnya menutup dengan membentuk lapisan di atmosfer. Lapisan itu disebut efek inversi.
“Dengan adanya lapisan di atmosfer yang terakumulasi tanpa adanya hujan, polutan akan tetap di situ-situ saja. Itu makanya yang disebut kemarau juga punya pengaruh kepada tingkat pencemaran,” katanya.
Dalam pernyataan persnya, Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, Indonesia pertama kali menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengatasi pencemaran udara yang disebabkan kegiatan perekomian. Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan di DKI Jakarta pada pertengahan Juli.
“Gubernur DKI Jakarta sudah memberi lampu hijau dan meminta agar TMC dilaksanakan paling cepat setelah tanggal 10 Juli dan paling lambat sebelum periode anak sekolah masuk pasca libur,” katanya.
Operasi modifikasi cuaca di Ibukota akan didukung TNI Angkatan Udara dari skadron 4 Landasan Udara Abdurachman Saleh Malang dengan menyiapkan pesawat Cassa.
Teknologi modifikasi cuaca untuk antisipasi pencemaran udara di perkotaan ini berbeda dengan operasi modifikasi cuaca untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Tidak terlindungi
Dihubungi terpisah, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menyampaikan, indeks standar pencemaran udara (ISPU) berdasarkan regulasi, tidak cukup untuk melindungi masyarakat. Ia mencontohkan, akibat kebakaran hutan di Jambi tahun ini, ribuan warga di sana menderita asma, tetapi alat pemantau ISPU menunjukkan, pencemaran udara masih kategori sedang.
Artinya, pemerintah harus merevisi regulasi agar standar pengukuran pencemaran udara lebih ketat.
Selain itu, Bondan mendorong pemantauan ISPU real time dan bisa diakses masyarakat secara daring. Pemerintah juga perlu mengeluarkan peringatan dini jika kondisi udara sudah berkategori tidak sehat.
“Kalau kualitas udara sedang tidak sehat, seharusnya ada peringatan dini kepada masyarakat karena menghirup udara sehat adalah hak kita semua,” ujar dia.
Peringatan dini jika kualitas udara buruk dibutuhkan salah satunya oleh kelompok rentan. Mereka terdiri dari orang-orang yang sensitif terhadap udara tercemar, orang yang sakit, warga berusia lanjut, bayi, anak-anak, dan ibu hamil.