Tayangan Telvisi Polri Diharap Tak Sekadar Pencitraan
Oleh
insan alfajri
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Sejumlah tayangan aktivitas Kepolisian RI yang bekerja sama dengan stasiun televisi, dinilai masih sekadar pencitraan polisi semata. Seharusnya Polri membuat konten-konten yang lebih inovatif dan edukatif.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Media dan Komunikasi Remotivi, Yovantra Arief, mengatakan tayangan Polri yang bekerja sama dengan sejumlah televisi bertujuan untuk membentuk hubungan yang intim antara penonton dan polisi.
Yovantra menyampaikan hal itu dalam bertajuk "Kepolisian dalam Bingkai Media" di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (4/8/2019). Menurut dia, tayangan di televisi terasa seperti "setengah kehumasan".
Dalam tayangan itu, polisi terasa seperti penjaga moral, menasehati orang yang diduga melakukan tindak pidana. "Dan tindak kriminalnya pun hanya kelas bawah, seperti orang tidak membawa surat izin mengemudi, tempat karaoke liar dan lain-lain," katanya.
Diskusi itu juga dihadiri Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Jakarta Erick Tanjung, dan Komisioner Komisi Nasional Perempuan Azriana Manalu.
Adriana menjelaskan, strategi pencitraan Polri tidak lepas dari konstruksi sosial masyarakat yang menempatkan justifikasi moral sebagai penilaian utama. Oleh sebab itu, penegakan hukum yang hanya berdasarkan moral, berpotensi mendiskriminasi kelompok rentan.
Sementara Arif menambahkan, tayangan Polri itu merupakan gambaran dari realistas semu (simulacra) seperti yang pernah diterangkan filsuf Jean Baudrillard.
Menurut Arif, konten yang ditayangkan di frekuensi publik itu semestinya lebih edukatif. Contohnya, polisi menggambarkan apa saja syarat minimal seseorang bisa ditahan oleh polisi.
"Tayangan-tayangan itu merupakan reproduksi tanda baru yang ingin mendorong citra polisi agar baik di masyarakat. Sayangnya, hal itu berhenti di pencitraan, belum betul-betul ada di kenyataan," katanya.
Arif menjelaskan, Polri dan TNI dipisahkan pasca-Reformasi, melalui Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000. Ini bertujuan untuk membentuk Polri yang lebih humanis. Namun, fakta di lapangan, belum se-ideal yang dibayangkan.
Sedangkan Erick mengatakan, ada 20 dugaan kekerasan aparat terhadap jurnalis saat meliput kerusuhan 21-22 Mei. Dari jumlah itu, dua kasus yang dilaporkan ke polisi. Hingga kini, belum ada satu pun yang naik ke tingkat penyidikan.
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mempertanyakan hasil riset yang menyatakan Polri melakukan pencitraan. Menurutnya, Polri hanya memberikan data dan informasi. Media-lah yang mengemasnya dengan perspektif tertentu.
"Intinya, program dari polisi yang tayang di televisi itu bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat.