Egoisme Pengendara Sepeda Motor di Trotoar Jakarta
Pengendara sepeda motor adalah pelanggar aturan lalu lintas terbanyak berdasarkan laporan warga yang masuk melalui media sosial. Uniknya, di sejumlah kesempatan, para pelanggar sering lebih galak ketimbang pejalan kaki.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Berawal dari video viral di media sosial, masalah antara HGT (24) dan Hinto Susanto (36) berujung mencuat menjadi perhatian publik. HGT yang mengendarai sepeda motor di trotoar Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (7/9/2019), kini harus berhadapan dengan polisi.
Sikap egoisnya mengendarai sepeda motor di trotoar telah membahayakan keluarga Hinto yang tengah berjalan kaki. Anak Hinto menangis karena terserempet sepeda motor HGT yang kemudian membuat Hinto dan HGT bersitegang.
”Lain kali hati-hati, Pak,” tegur Hinto.
Alih-alih minta maaf, HGT malah memarahi Hinto. ”Bapak jangan cari pembenaran, ya, mentang-mentang jalan di trotoar, ya,” kata HGT seperti dituturkan oleh Hinto saat dihubungi di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Tidak terima dengan pernyataan HGT, istri Hinto pun menimpali, ”Wajar dong anak saya lari-lari di sini. Ini trotoar, bukan jalan raya.”
Senin (9/9/2019) malam, HGT digiring ke Markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat lantaran melanggar Pasal 284 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Malam itu juga, Hinto dan HGT memutuskan berdamai. Namun, polisi tetap menjalankan proses hukum terhadap HGT.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Arie Ardian mengungkapkan, proses hukum tetap berlangsung meski perselisihan antara Hinto dan HGT berujung damai. HGT berkewajiban membayar denda Rp 500.000 sesuai Pasal 284 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Untuk masalah aduan dari pihak korban sudah dicabut, tetapi untuk denda tetap kami berlakukan,” ujar Arie.
Kasus pelanggaran yang dilakukan HGT bukan hal sepele. Perilaku HGT, secara sadar ataupun tidak sadar, menunjukkan egoisme pengguna sepeda motor di Ibu Kota. Bukan sekali ini saja pengendara sepeda motor melintas atau parkir di trotoar.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, ada puluhan laporan okupansi trotoar oleh bukan pejalan kaki melalui akun media sosial Koalisi Pejalan Kaki. Dari laporan tersebut, sebagian besar merupakan pengendara sepeda motor, terutama ojek daring.
Masalah ini jelas bisa memicu kecelakaan. Dalam buku Hiruk Pikuk Bersepeda Motor (Edo Rusdyanto:2010) disebutkan, 59,52 persen dari 471.564 kecelakaan lalu lintas tahun 2009 disebabkan sepeda motor. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, sedikitnya 3 orang tewas setiap hari akibat kecelakaan sepeda motor di Jakarta pada 2008-2009.
Alfred mengatakan, pengendara sepeda motor adalah pelanggar aturan lalu lintas terbanyak berdasarkan laporan warga yang masuk melalui media sosial. Uniknya, dalam sejumlah kesempatan, para pelanggar aturan lalu lintas tersebut sering lebih galak ketimbang pejalan kaki.
”Dalam suatu kesempatan, seorang rekan kami bahkan pernah dilabrak dan ditampar saat mengingatkan pengendara motor yang melanggar. Mereka bilang, ’memangnya situ polisi?’ Padahal, untuk mengingatkan saja, kan, tidak harus jadi polisi,” ujarnya.
Minimnya penegakan hukum membuat para pengendara sepeda motor tetap percaya diri melaju di trotoar. Entah karena menghindari kemacetan lalu lintas ataupun melawan arah untuk mencari jalan pintas.
Mengabaikan rambu lalu lintas
Di sepanjang trotoar Jalan MH Thamrin, tempat keluarga Hinto terserempet motor, trotoar dipakai pengemudi ojek daring untuk parkir sepeda motor mereka. Rambu larangan parkir yang terpasang di trotoar tak ubahnya hiasan belaka.
Praktisi keamanan berkendara sekaligus pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting, Jusri Pulubuhu, mengatakan, pelanggaran pengendara sepeda motor seolah menjadi lumrah karena dilakukan beramai-ramai. ”Hal yang lebih parah lagi, ketidaktahuan warga kadang menurun ke anak mereka dengan cara-cara simpel. Seperti saat warga mengajak anak mereka parkir di trotoar. Anak mereka nantinya menganggap bahwa parkir di trotoar itu lumrah,” kata Jusri.
Mengutip ”Transportation Research: Traffic Psychology and Behaviour", fenomena pengendara sepeda motor bersinggungan dengan teori kaca depan atau windshield perspective. Birgitta Gatersleben, Niamh Murtagh, dan Emma White, peneliti dalam studi ini, menyebutkan, dengan seseorang melihat segala fenomena di atas kendaraan, terutama dalam penelitian ini adalah mobil, maka seseorang memiliki perspektif yang lebih sempit, yakni sebatas penglihatan di dalam kendaraan saja.
Menumbuhkan empati
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, mengatakan, esensi dari teori itu sebenarnya lebih kepada egoisme pengendara. Titik berat permasalahan pengendara bermotor di jalan raya adalah soal menumbuhkan empati.
”Semua awalnya berasal dari faktor internal seseorang. Pengendara itu tidak punya empati terhadap pejalan kaki, padahal mereka sama-sama masyarakat di Ibu Kota,” tuturnya.
Imam menambahkan, kurangnya empati pengendara sepeda motor juga diiringi dengan lemahnya sanksi sosial dan sanksi hukum. Menurut dia, tidak banyak pelanggaran yang dijatuhkan kepada para pelanggar lalu lintas.
”Kasus pelanggaran lalu lintas semestinya diganjar dengan dua sanksi, yakni sanksi hukum dan sanksi sosial. Sanksi hukum dari kepolisian harus tegas. Di lain sisi juga harus ada sanksi sosial, misalnya, si pelanggar diberi stigma secara sosial sehingga merasa jera,” ujar Imam.
Sudah sepatutnya semua orang mematuhi peraturan yang berlaku, termasuk berperilaku tertib lalu lintas demi kenyamanan bersama.